Gus Dur dalam Kapitalisasi Kampanye Prabowo

Foto Ahmad Sahide (Istimewa)


Oleh: Ahmad Sahide

Opini- Demokrasi dimaknai sebagai cara untuk memberikan kedaulatan kepada rakyat dan demokrasi secara langsung, seperti yang diterapkan di Indonesia, adalah bagaimana mendapatkan dukungan dari rakyat untuk jadi seorang pemimpin. Terkadang demokrasi dipahami sesederhana itu. Sebatas meraih suara rakyat. Meski demokrasi dalam konsep ideal jauh dari sebatas pemilihan dan cara mendapatkan simpati rakyat. Tapi inilah realitas demokrasi Indonesia yang nampaknya masih jauh dari idealitas demokrasi itu sendiri.

Prabowo Subianto adalah figur yang paling sering mengikuti konstestasi politik di Indonesia pasca reformasi bergulir. Dalam catatan saya, Prabowo secara resmi sudah empat kali mengikuti kontestasi untuk menjadi wakil presiden maupun jadi presiden. Prabowo ikut konvensi partai Golkar untuk mendapatkan tiket sebagai calon presiden pada 2004, tapi pada saat itu Prabowo kalah dari Wiranto. Akhirnya tiket calon presiden dari Golkar pada 2004 menjadi milik Wiranto, mantan Panglima TNI. Setelah itu, Prabowo mendirikan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) sebagai kendaraan politiknya. Akhirnya pada pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2009, Prabowo maju sebagai calon wakil presiden dan berpasangan dengan Megawati Soekarno Putri. Namun, Megawati dan Prabowo Subianto pada saat itu kalah dari Susilo Bambang Yudoyono-Boediono.

Pada pemilihan presiden dan wakil presiden 2014, Prabowo Subianto Kembali ikut konstestasi dan kali ini sebagai calon presiden. Pada 2014, Prabowo menggandeng Hatta Rajasa, dari Partai Amanat Nasional (PAN), sebagai calon wakil presidennya. Dalam daur ulang demokrasi 2014 tersebut, Prabowo bertarung head to head dengan Joko Widodo (Jokowi) yang berpasagan dengan Jusuf Kalla (JK). Prabowo kembali gagal dalam kontestasi tersebut dan menuding Jokowi-JK menang dengan kecurangan. Prabowo menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) tetapi gagal. Pertarungan kembali terjadi antara Jokowi versus Prabowo pada pemilihan presiden 2019. Kali ini Jokowi menggandeng KH. Maruf Amin sebagai calon wakil presidennya dan Prabowo menggandeng Sandiaga Uno (Sandi) sebagai calon wakil presidennya.

Prabowo kembali dikalahkan oleh Jokowi dan lagi-lagi Prabowo tidak menerima kekalahan tersebut. Prabowo menuding bahwa hasil pilpres 2019 dipenuhi dengan kecurangan. Prabowo menuding Jokowi memenangi kontestasi dengan melakukan kecurangan secara tersistematis, terstruktur, dan masif (TTM). Lalu Prabowo menggugat ke MK, lagi, dengan maksud mendiskualifikasi Jokowi-Ma’ruf. Dengan demikian, Prabowo secara langsung akan menjadi Presiden Indonesia. Sayang, gugatan ke MK tidak bisa membuktikan kecurangan tersistematis, terstruktur, dan masif yang dituduhkan kepada pasangan Jokowi-Ma’ruf. Bukan hanya itu, Prabowo mengerahkan massanya untuk ‘mengepung’ MK pada saat sidang gugatan hasil pilpres yang meminta korban dari massa yang dikerahkan oleh Prabowo. Beberapa nyawa pendukung Prabowo harus melayang karena langkah politik yang diambilnya.

Beberapa bulan setelah gagal upaya mendiskualifikasi Jokowi melalui MK, Prabowo mengagetkan publik ketika memutuskan untuk bergabung dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin. Maka sia-sialah nyawa pendukungnya yang melayang yang datang ke Jakarta demi ‘membela’ perjuangan Prabowo untuk jadi presiden. Prabowo pada saat itu dituding telah menghianati suara rakyat yang mendukungnya dengan memilih bergabung dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf yang dituding menang dengan kecurangan.

Gus Dur dalam kampanye Prabowo

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah tokoh besar dan kharismatik dari Nahdatul Ulama. Gus Dur pernah menjadi Ketua Umum PBNU dan juga adalah Presiden ke-4 Republik Indonesia. Menjelang pemilihan presiden pada 2004, Gus Dur diundang dalam acara Satu jam Bersama Gus Dur dari TvOne.

Dalam acara tersebut, pembawa acara bertanya kepada Gus Dur bahwa ada empat kandidat yang disebut-sebut kuat sebagai calon presiden 2004. Keempat tokoh itu ada Susilo Bambang Yudoyono (SBY), ada Megawati Soekarno Putri, ada Jusuf Kalla (JK), dan ada Prabowo Subianto. Dalam menjawab pertanyaan tersebut, Gus Dur menjawab, “Kalau orang yang paling ikhlas kepada rakyat Indonesia itu Prabowo.”

Inilah yang kemudian dikapitalisasi oleh Prabowo dan timnya dalam berupaya merebut simpati publik, terutama kalangan nahdaliyin, setiap kali mengikuti kontestasi politik di republik ini. Tidak heran jika di berbagai tempat kita melihat baliho besar dengan foto Gus Dur dan Prabowo disertai dengan pernyataan Gus Dur tersebut. Pernyataan Gus Dur tersebut dimanfaatkan untuk mendulang dukungan dari kalangan Nahdaliyin. Di sinilah letak masalahnya sebab teks lahir dari konteks. 

Kalau kita pernah belajar teori interpretasi, maka kita akan belajar cara menemukan makna dari sebuah teks bahwa makna (meaning) teks tidak bisa lepas dari konteks ruang dan waktu. Dalam Bahasa Paul Recour ini disebut dengan hermeneutika. Hal yang sama dalam Islam, misalnya, ketika kita akan memahami (menafsirkan) suatu ayat atau hadis, maka kita mesti mengetahui asbabunuzulnya (asal usul). Banyak ayat atau hadis ditafsirkan berbeda karena perbedaan dalam membaca konteks ruang dan waktu.

Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa membaca teks tidak bisa lepas dari konteks ruang dan waktu karena hal itu akan menyesatkan (salah dalam menafsirkan). Begitu juga ketika kita membaca kalimat Gus Dur yang dipakai oleh Prabowo dalam mendapatkan dukungan dari pengikut Gus Dur.

Kita tidak menyangkal bahwa Gus Dur pernah mengatakan hal tersebut. Tetapi yang perlu kita pahami adalah Gus Dur mengatakan itu pada saat menjelang pemilihan presiden 2004 yang mana Gus Dur diminta siapa yang lebih tepat dari empat tokoh tersebut. Kata Gus Dur ya Prabowo (dari SBY, Megawati, dan Jusuf Kalla). Namun Prabowo yang dikenal Gus Dur adalah Prabowo saat itu. Bukan Prabowo pasca 2004 sampai saat ini.

Apakah Prabowo yang dikenal Gus Dur pada saat itu masih sama dengan Prabowo saat ini? Yang sudah empat kali ikut dalam kontestasi, yang sudah menjadi Menteri Pertahanan dan dari kabinet lawan politik yang dianggapnya menang dengan melakukan kecurangan. Seandainya Gus Dur masih hidup dan kembali ditanya, bisa saja jawabannya akan berbeda. Bukan Gus Dur yang tidak konsisten, tetapi ada perubahan sikap yang terjadi. Bukankah sikap dan hati manusia dapat berubah setiap saat?

Maka menggunakan kalimat tersebut dalam kampanye politik sebenarnya tidak memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, terutama warga NU pengikut Gus Dur, melainkan sebaliknya. Pembodohan politik!

Tidak heran jika Yeny Wahid (anak Gus Dur) memilih untuk mendukung Ganjar Pranowo dan Mahfud MD pada pemilihan presiden 2024. Artinya Yenny Wahid sendiri tidak membenarkan (lagi) makna dari teks yang pernah disampaikan oleh Gus Dur di acara Satu Jam Bersama Gus Dur tersebut.

Yogyakarta, 24 Januari 2024

Dikutip dari EDUNEWS.ID, 24 Januari 2024.



 

Iklan