Pertarungan Oligarki dan Sistem Demokrasi yang Mahal.

 

Pertarungan Oligarki dan Sistem Demokrasi yang Mahal
Abdurrahman, Mahasiswa jurusan Adminitrasi Publik, Fakultas Fisipol Universitas Widya Mataram Yogyakarta. 



Oleh: Abdurrahman

(Presiden Mahasiswa Univerisitas Widya Mataram Yogyakarta Periode 2022-2023 dan periode sekarang 2023-2024.)


Pemilihan umum yang dilakukan 2024 nanti adalah pertarungan oligarki dalam mengamankan kekayaan atau menambah kekayaan mereka. Sudah barang tentu pertarungan oligarki inilah yang akan menjadi pesta demokrasi yang kita temukan tiap lima tahun sekali. Rakyat hanya sebagai bahan akumulasi perhitungan kemenangan di perhitungan suara. 


Dari tiga calon yang diusung oleh para elite-elite partai yang sudah tentu adalah oligarki-oligarki yang ingin memperkaya diri dan menyelamatkan aset-aset mereka dari oligarki-oligarki yang lain. Pemilu bukanlah pesta rakyat, tapi pemilu adalah pertarungan elite dan oligarki yang saling berebut kekuasaan untuk mengamankan kelompok mereka masing-masing.


Sistem demokrasi sekarang ini sangat mahal biayanya, membuat orang mengeluarkan biaya begitu besar supaya dapat menduduki jabatan pemerintahan. Hal tersebut pula yang akhirnya membuat banyak pejabat menjadi korup atau pada akhirnya menjadi boneka para pemodal (oligarki).


Masyarakat seharusnya sadar dan tahu kalau pemilu bukanlah untuk melahirkan pemimpin yang akan mensejahterakan rakyat dan memberikan keadilan pada rakyat. Tapi pemilu adalah tentang keberlangsungan proyek-proyek mereka para elite dan oligarki itu sendiri dan mereka hanya melayani kepentingan-kepentingan elite dan menghasilkan “perbudakan” terhadap masyarakat dari kelas bawah.


Kita bisa melihat bagaimana perdebatan para calon presiden yang mereka usung tiap lima tahun sekali, dengan berapi-api mereka menyampaikan visi misi dan program kerja. Paling parah dari debat yang diadakan oleh komisi pemilihan umum adalah selalu mengulang tema-tema yang lama yang selalu diperdebatkan tiap debat pilpres yang bergulir lima tahun sekali. 


Tidak sampai di situ mereka selalu membicarakan tentang kesejahteraan rakyat dengan program-program kerja yang sebenarnya tidak pernah kita rasakan sama sekali setelah mereka terpilih, dan janji-janji itu tidak pernah direalisasikan benar-benar untuk masyarakat.


Sejak kelahirannya, demokrasi tidak pernah berhasil mengatasi persoalan stratifikasi material. Dalam demokrasi elektoral, yang terjadi adalah kontestasi dan kompetisi timpang dalam pemilu. Hak pilih hanya membangun arena pertarungan yang tak seimbang secara ekstrem antara kekuasaan material dengan kekuasaan partisipasi. Pertarungan tersebut terjadi dalam bentuk hak pilih dalam demokrasi elektoral yang menjalankan prinsip one person one vote.


Satu suara orang memang sama dengan satu suara orang super kaya di bilik suara. Akan tetapi, di luar bilik suara, orang super kaya dengan wealth power-nya bisa memengaruhi jutaan manusia. Apalagi, jika wealth power tersebut menggunakan media massa baik cetak maupun elektronik untuk memengaruhi opini jutaan pemirsa.


Oligarki juga memiliki kekuatan untuk mendanai partai, mendanai kampanye, dan mendanai kelompok-kelompok tertentu yang mau naik dan menggeser kelompok lain yang tidak dikehendakinya. Walaupun secara prosedural demokrasi berjalan sempurna. Namun akibatnya jika semua calon merupakan pilihan oligarki, pemimpin terpilih pun merupakan pilihan oligarkis.


Keterpilihan seorang pemimpin semacam itu merupakan kombinasi kekuasaan kekayaan dengan kekuasaan partisipasi dalam demokrasi. Ketimpangan dan keburukan demokrasi ini akan kita rasakan di mana pemilu diselenggarakan dalam Indonesia pasti yang mendominasi adalah wealth power dibandingkan participation power.


Oligarki menjadi penentu dalam pemilu.


Selama berabad-abad oligarki selalu menjadi panglima dalam pemilu dengan modal kekayaan yang cukup besar. Begitu juga dengan elite menguasai kekuatan pemerintahan juga membuat elite menjadi besar kepala dalam mengatur berjalannya pemilu.


Indonesia adalah negara yang politiknya ramai dan penuh lika-liku dengan jalannya peristiwa yang tak terduga, dan banyaknya intrik serta skandal. Masyarakat indonesia juga rajin datang ke pemungutan suara dan memberi suara untuk memilih serangkaian presiden yang sebagian besar tak kompeten dan tak efektif sejak 1998 sampai 2019, politik indonesia sangat distribusif, tapi hanya di atas, distribusinya tidak pernah secara vertikal menjangkau kaum miskin. 


Artinya, kontes demokrasi indonesia hanya permainan pindah-pindah kelompok oligarki dan elite yang ingin berusaha meraih kekuasaan demi pertahankan kekayaan dan memperkaya diri atau kelompok. Kaum miskin kota dan desa, para pekerja, petani, dan bagian-bagian populasi yang terindas secara umum dikesampingkan dalam proses itu.


Kalau kita tarik ke belakang soeharto menciptakan dan memelihara para oligarki indonesia, serta mengorganisasi mereka di bawah oligarki sultanistik yang dia kuasai sendiri. Namun, itu bukan berarti dia berniat menciptakan oligarki itu, dan dia mungkin tidak berniat demikian. Motif suharto sejak awal adalah menopang kekuasaannya dan menstabilkan pemerintahan dalam kondisi yang kacau dan kadang keras.


Ekonomi Indonesia pada tahun 1966 berantakan, persentase pengangguran mencapai dua angka dan persentase inflasi mencapai tiga angka. Produksi dan perdagangan indonesia berhenti atau berubah penyelundupan dan pasar gelap. Suharto perlu uang cepat dan bahan pokok, bukan hanya untuk melalui krisis ekonomi, melainkan juga untuk membeli dukungan dan melemahkan lawan. Namun, untuk menyadap kekayaan indonesia perlu banyak bantuan dan teman.


Amerika serikat memimpin upaya membantu suharto dengan aliran bantuan darurat dan pinjaman besar, Ketika para investor masih belum yakin bahwa indonesia adalah tempat yang aman untuk menanamkan modal. Tapi dengan bantuan amerika serikat meyakinkan para investor akhirnya suharto mendapatkan bantuan.


Tidak berhenti di situ setelah suharto berhasil melakukan penghancuran PKI, oligarki Indonesia muncul dan berkembang dan menjalar di indonesia. Tidak ada kesejahteraan rakyat dalam kamus oligarki kecuali melayani kepentingan-kepentingan elite dan menghasilkan “perbudakan” terhadap masyarakat dari kelas bawah.


Pengaruh dan kuasa oligarki.


Tercatat dalam pengaruh oligarki sejak 2019 lalu, begitu maraknya kejanggalan-kejanggalan yang muncul dan menjadi problematika di negeri ini. Kejanggalan tersebut muncul dari berbagai kebijakan pemerintah ataupun wacana publik seperti revisi UU KPK, RKUHP, amandemen UUD 1945, serta pelanggaran etik berat yang dilakukan oleh ketua MK, di tambah lagi masifnya politik akomodatif yang membuat koalisi pemerintah begitu gemuk dan hal inilah semakin memperlihatkan bahwa politik oligarki benar-benar diterapkan di indonesia.


Benih-benih oligarki ini muncul kembali dan tumbuh subur di indonesia setelah terdapat cela pada sistem pemilihan yang mengakibatkan terjadinya fokus kekuasaan pada sistem tersebut yang di sebut sebagai presidential threshold merupakan aturan sebagai pintu masuk para oligarki.


Sebagaimana tesis yang dituangkan Jeffrey A. Winters dalam bukunya yang berjudul Oligarchy (2011), mengatakan oligarki adalah posisi kekuasaan yang selalu ada dalam setiap konteks politik dan periode sejarah. Oligarki itu sendiri adalah aktor yang mengatur serta mengendalikan konsentrasi sumberdaya kekayaan yang masif yang dapat digunakan untuk mempertahankan atau menambah kekayaan personal dan posisi mereka yang eksklusif.


Dalam slogan demokrasi yang kita sering dengar bahkan sering kita ucapkan bukanlah “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, namun dari oligarki, oleh oligarki dan untuk oligarki. Wajah demokrasi kita terlihat semu, terkonsolidasi dan didominasi oleh birokrasi oligarki yang menjadikan partai hanya sekadar mesin pengulang suara pemilihan umum.


Bagaimana melawan kekuatan elite dan oligarki?


Dalam buku Robert Michels Political Parties, a Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy, (1984) menjelaskan kemunculan oligarki merupakan konsekuensi dari proses yang terjadi dalam suatu organisasi, termasuk partai politik.


Makin besar organisasi atau partai politik tersebut, kecenderungan mengarah kepada oligarki tidak dapat dihindarkan. Kecenderungan ini disebut Michels sebagai oligarki demokrasi.


Pada akhirnya, perselingkuhan antara pengusaha dan penguasa ini akan melahirkan hukum besi oligarki, di mana kepentingan sekelompok orang (minoritas), tidak mewakili kepentingan orang banyak (mayoritas).


Praktik kerusakan lingkungan salah satu contoh adanya keterlibatan peran oligarki demi memperkaya diri. Para kartel merusakan ekosistem dengan eksploitasi alam, membahayakan lingkungan dalam jangka panjang. Praktik yang selama ini sering terjadi di beberapa tempat. Terlebih lagi, kemudahan mendapatkan akses perizinan yang dimanipulasi memperlihatkan kedaruratan yang cukup serius dalam demokrasi.


Oleh karenanya, untuk melawan kekuatan oligarki yang subur harus dilawan dengan barisan kekuatan nonelite, termasuk terkonsolidasinya gerakan sipil dan aktivis masyarakat dengan memperbaiki tingkat representasi dirinya. Selain itu, faktor pendidikan politik yang harus terus digalakkan terhadap lapisan masyarakat agenda panjang yang tanpa henti.


Munculnya oligarki tidak lain absennya konsolidasi dari gerakan masyarakat, penumpukan kekayaan pribadi dan dibajaknya kebijakan publik. Maka dari itu, pendidikan politik yang terus digiatkan dan terciptanya tatanan pembangunan masyarakat kritis merupakan serangkaian jalan menjaga marwah demokrasi.


Oligarki merupakan benalu yang muncul dalam demokrasi, dan peran masyarakat sipil yang kritis sangat mempengaruhi surutnya oligarki yang mencengkram demokrasi. Masyarak harus dihimpun dengan Kekuatan gerakan oposisi permanen sebagai penyeimbang kekuasaan agar penguasa tidak semena-mena dalam menggerogoti demokrasi.


Iklan