Putusan MK, Semoga Bukan Senja Kala Demokrasi Kita


Putusan MK, Semoga Bukan Senja Kala Demokrasi Kita
Foto: Al Farisi Thalib



Oleh : Al Farisi Thalib 

Pemerhati Sosial, Demokrasi dan Politik/ Mahasiswa S3 PTIK


"Permohonan pemohon ditolak secara keseluruhan," demikian kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan oleh kubu Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Amin) terkait Pilpres 2024 Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024, pada Senin (22/4).


Putusan ini sebenarnya tidak mengejutkan, sebenarnya sudah dapat diprediksi jauh hari sebelumnya, bahkan banyak pihak merasa pesimis dengan hasil putusan MK, mengingat adanya ‘pengalaman buruk’ kuatnya intervensi kekuasaan (istana) terhadap lembaga peradilan di Indonesia. Dan pada kenyataannya pun apa yang dikhawatirkan tersebut terjadi. Putusan itu mengkonfirmasi semua pihak, bahkan tanpa disadari oleh MK sendiri, tidak kuasa menghentikan laju pelemahan demokratisasi di negeri ini.


Ketukan palu hakim saat mengesahkan hasil putusan terebut, memang menandai berakhirnya proses gugatan PHPU Pilpres 2024 yang memperkuat Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang penetapan hasil pemilu. Namun sekaligus, mungkin, menjadi awal dimulainya “senja kala demokrasi” kita. Bunyi palu hakim nyaring memekakkan nurani dan akal sehat, menyempurnakan sekaratnya demokrasi yang telah lama lumpuh. Prinsip dan nilai-nilai demokrasi yang diwartakan kampus, ruang intelektual, akademisi dan civil society “di-demosida” (penghancuran nilai demokrasi) justru melalui proses pemilu dan peradilan hukum (yang semu).


Proses Demosida Sedang Berlangsung


Peradilan hukum yang “semu” dimaksud adalah proses persidangan yang sesungguhnya kita bisa (telah) tebak hasil akhirnya akan terjadi seperti saat ini. Apa yang tampak di media tidak lebih dari “drama panggung depan”. MK (sekali lagi dan akan terus seperti ini) hanya melakukan business as usual. Gugatan kubu Amin dan Ganjar mempersoalkan kembali tentang pencalonan Gibran Rakabuming Raka yang cacat hukum dan etika, pembagian bantuan sosial, dan aktivitas Presiden Jokowi.


Namun, seberapapun banyak bukti ditunjukkan, seberapa tajam dan jelas argumen dan dalil dikemukakan, MK menyimpulkan bahwa alasan yang diajukan tidak memiliki dasar hukum. Beberapa alasan tidak diberikan pertimbangan lebih lanjut karena tidak relevan. MK juga menegaskan bahwa putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan sebelumnya dianggap tepat berdasarkan bukti dan fakta hukum yang disajikan dalam persidangan, serta mematuhi prinsip-prinsip hukum dan keadilan sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.


Praktik peradilan seperti inilah yang menyebabkan terjadinya demosida. Kata yang diadopsi dari ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, yang pertama kali menulis tentang genosida dalam bukunya “Axis Rule in Occupied Europe” (1944). Istilah demosida diambil dari bahasa Yunani yaitu democratia (demokrasi) dan caedere (pembunuhan). Yang menggambarkan sebuah erosi nilai demokrasi secara terus menerus yang mengakibatkan hancur tanpa sisa. Aktifitas demosida seperti ini puncaknya saat lima hakim MK menilai permohonan pemohon “tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya”.



Sebelumnya, banyak berupaya optimis untuk tetap menilai positif hakim MK, yang dinilai masih memiliki idealisme, independensi, kejujuran dan keberanian dalam mengambil keputusan, mengedepankan judicial activism, melihat persoalan secara lebih jernih, mengurai perkara secara lebih objektif, mengidentifikasi masalah secara tajam, membaca berkas perkara setelah membedah keadaan realita, menilai bukti-bukti setelah mendengarkan banyak aspirasi.


Namun yang terjadi sebaliknya, harapan tersebut tinggal harapan kosong semata. Yang tidak diharapkan justru terjadi. MK lagi-lagi hanya menjadi “mahkamah kalkulator”. Terjebak pada angka-angka. Tumpul mengidentifikasi causalitas atau hukum sebab-akibat masalah dan hasil perolehan suara. Hilangnya rasa keadilan masyarakat hanya dinilai sebatas ‘perselisihan hasil surat suara’. Dengan kata lain, melalui adegan persidangan ini, menegaskan kembali bahwa proses demokrasi di Indonesia hanya bersifat formalitas palsu semata.


Padahal, PHPU 2024 merupakan momentum para hakim memberikan pelajaran berharga pada sejarah bangsa ini dan generasi yang akan datang, bahwa etika dan moralitas harus dijunjung tinggi dan diutamakan di atas perangai politik dan hukum. Para akademisi dan rohaniwan sudah sering mengingatkan tentang kegentingan tanda hancurnya etika dan moral.


Malpraktik Pemilu

Proses pemilu 2024 dinilai banyak pengamat sebagai pemilu yang “paling brutal”. Hal ini karena selama proses berlangsung diwarnai banyak pelanggaran asas pemilu dan prinsip penyelenggaraan pemilu yang jujur (transparan), adil (feirness), mandiri, akuntabel, efektif dan efisien. Secara teoritis, penyelenggaraan yang taat asas dan prinsip pemilu menjadi indikator terwujudnya keadaban dan kedewasaan berdemokrasi pada suatu negara.


Berdasarkan fenomena politik yang terjadi dan bukti-bukti yang diajukan oleh para pemohon di dalam persidangan bentuk pelanggaran-pelanggaran tersebut secara aksident terwujud dalam berbagai praktik pelibatan aparatur negara seperti para menteri kabinet, kepala daerah, kepala desa, kepolisian dan lain-lain, bahkan Presiden Jokowi sendiri secara langsung ikut terlibat dalam proses ‘cawe-cawe’ politik (all the president’s men).


Mereka semua menjadi perangkat dan mesin politik yang digerakkan, melalui program-program yang ‘disembunyikan’, ‘dimanipulasi’, dan disamar-samarkan, seolah konstitusional, sah, dan sudah melalui prosedur administrasi kebijakan pemerintahan yang benar. Kenyataannya, program-program tersebut ‘dibajak’, dengan alibi yang terang bahwa demikian tujuannya untuk “pemenangan salah satu calon”.


Kondisi ini oleh Sarah Birch, guru besar ilmu politik Universitas Glasgow, AS, dalam bukunya “Electoral Malparctice” (2011), disebut malpraktik pemilu. Suatu praktik pemilu di sebuah negara yang dibayang-bayangi manipulasi untuk kepentingan seorang atau partai politik dengan mengabaikan kepentingan umum. Bentuk-bentuk praktik manipulasi (malpraktik) dimaksud oleh Sarah digolongkan menjadi beberapa model, yaitu: manipulasi terhadap peraturan perundang-undangan pemilu, manipulasi pilihan pemilih yang bertujuan mengubah pilihan pemilih, manipulasi terhadap proses pemungutan suara dan penghitungan suara hingga pemilu berakhir.


Menjaga Demokrasi

Secara konseptua, seperti yang telah dikemukakan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblat dalam "How Democracies Die" (2019), bahwa belakang ini, demokrasi bisa mati bukan karena sebuah kudeta, melainkan dengan terpilihnya pemimpin otoriter, penyalahgunaan kekuasaan pemerintah, penindasan terhadap oposisi. Bahkan kematiaannya tidak disadari selangkah demi selangkah.


Memperhatikan watak kekuasaan saat ini, proses peradilan, etika dan moralitas para hakim, tingkah laku para aparatur negara (pegawai dan polisi), serta proses pemilu yang berjalan seolah prosedural dan sesuai aturan padahal hasil manipulasi. Maka apa yang dikhawatirkan Levitsky dan Ziblat bahwa demoktasi dalam bahaya, nyata secara perlahan sedang terjadi di sini. Proses demosida ini harus dihentikan, demokrasi perlu dijaga, disehatkan dan tumbuh kembangkan.


Putusan PHPU 2024 telah dibacakan dan ditetapkan. Semua pihak yang masih meyakini negara ini sebagai negara hukum dan demokratis, harus menghormati dan menerima ini secara demokratis sebagai putusan final dan mengikat (binding). Hal ini sebagaimana telah ditunjukkan oleh pasangan AMIN, begitu juga dengan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, serta partai pendukung pasangan calon tersebut telah menyatakan menghormati dan menerima hasil putusan MK.


Terlepas putusan tersebut tidak memenuhi rasa keadilan rakyat secara keseluruhan. Namun diperlukan usaha semua pihak, baik bagi seluruh pendukung pasangan yang ditolah permohanannya oleh MK maupun dinyatakan menang oleh KPU, untuk memperkuat demokrasi. Sensifitas sangat diperlukan sebagai kompas dan indikator untuk mengukur kadar demokratisasi di lingkungan kita, sehingga amanat reformasi tidak diselewengkan.


Di samping itu, diharapkan dalam pembentukan kabinet pemerintahan Probowo-Gibran, tidak hanya dapat menformulasikan kabiner pemerintahan yang bersih, meritokrasi, dan inovatif, tetapi juga dapat membentuk kelompok oposisi sebagai penyeimbang dan pengontrol (check and balance). Karena dengan terciptanya ruang oposisi demokrasi bisa berjalan secara baik. Jika tidak diperlukan, maka "requiem aeternam democratia" (beristirahatlah dengan kekal demokrasi)

Iklan