Konsumsi Antibiotik Tanpa Resep Dokter, Bisa Menyebabkan Kematian

Konsumsi Antibiotik Tanpa Resep Dokter, Bisa Menyebabkan Kematian
Acara Ngobrol Santai Bersama Awak Media


Mataram,(Beritantb.com) - Penggunaan obat antibiotik sembarangan masih sangat masif ditemukan di masyarakat. Padahal mengkonsumsi antibiotik tanpa resep dokter sangat berbahaya bagi kesehatan, bahkan dapat menyebabkan kematian.


Hal itu disampaikan oleh Kepala Balai Badan Pengendali Obat dan Makanan (BBPOM) di Mataram, Yosef Dwi Irawan saat acara ngobrol santai bersama awak media, Rabu (3/7/2024).


Kepala Balai Badan Pengendali Obat dan Makanan (BBPOM) di Mataram, Yosef Dwi Irawan menyampaikan mengkonsumsi antibiotik tanpa resep dokter menjadi salah satu pemicu Anti Macroba Resistance (AMR).


Profil antibiotik yang paling banyak diserahkan tanpa resep dokter secara nasional antara lain amoxilin, Cefadroxil dan Cefixim.


Ia menjelaskan bahwa AMR atau Resistensi Antimikroba merupakan kondisi ketika bakteri, virus, jamur dan parasit berubah dari waktu ke waktu dan tidak lagi merespon terhadap obat-obatan.Sehingga membuat infeksi lebih sulit diobati dan meningkatkan resiko penyebab penyakit, memperparah dan menyebabkan kematian.


“Sehingga penggunaan penggunaan anti biotik dengan dosis yang tidak tepat akan berdampak pada kualitas kesehatan manusia bahkan berisiko kematian,” kata Yosef.


Menurutnya, ada dua faktor pemicu resistensi antibiotik yakni produk antibiotik itu sendiri dan prilaku manusia. Fakto dari produk itu sendiri apabila produk yang digunakan tidak memenuhi ketentuan mutu, rusak atau bahkan palsu.


Kemudian faktor dari plat prilaku manusia antara lain resep tidak rasional dan penggunaan antimikroba tanpa resep dokter, termasuk membuang antimikroba sembarangan.


“Di Indonesia pada tahun 2019 terdapat 34.500 kematian yang disebabkan oleh AMR dan 133.800 kematian yang terkait dengan AMR,” ujar Yosef.


Indonesia berada di urutan ke 78 dari 204 negara yang angka kematiannya tertinggi yang terkait dengan AMR, dan nomor 5 di Asia Tenggara.


Kematian AMR bahkan lebih tinggi dari kematian akibat HIV/AIDS dan Malaria. Pada tahun 2050 mendatang, WHO memprediksi jumlah kematian terkait AMR naik hingga menjadi 10 juta jiwa per tahun.


“Boleh dikatakan AMR merupakan ancaman terbesar terhadap kesehatan dan resiko keamanan kesehatan global saat ini yang dapat membunuh dalam keheningan,” kata Yosef.


Tidak hanya berdampak kepada manusia, AMR juga berdampak kepada hewan, perikanan, pertanian dan lingkungan yang bersumber dari manusia, sehingga upaya pengendalian AMR harus melibatkan multisektor (one health approach) yang melibatkan sektor manusia hewan dan lingkungan.



BPOM pun telah memiliki peta Jalan rencana aksi pengendalian Amr di lingkungan BPOM periode tahun 2020-2024 dan membentuk tim khusus pengendalian Amr yang di dalamnya melibatkan juga unit pelaksana teknis BPOM di seluruh Indonesia.


Pengendalian AMR yang diinisiasi BPOM berfokus pada dua aspek yaitu pada aspek pengawasan pre-market dan post-market.


Pada aspek pengawasan pre-market BPOM menerbitkan pedoman penilaian antibiotik dan evaluasi registrasi antibiotik, sementara pada aspek pengawasan post-market dilakukan melalui pengawasan pengelolaan antimikroba di sarana produksi, distribusi dan sarana pelayanan kefarmasian, sampling dan uji mutu, bimbingan teknis kepada pelaku usaha serta edukasi pada masyarakat.


Dari hasil pengawasan UPT Badan POM seluruh Indonesia lebih dari 70% sarana Apotek Masih ditemukan menyerahkan antibiotik tanpa resep dokter dan di wilayah BPOM Mataram sendiri angka tersebut bahkan mencapai lebih dari 90%.


Masyarakat juga dapat berperan aktif dalam memberikan solusi terhadap pencegahan pertumbuhan resistensi antibiotik yakni dengan cara tidak membeli antimikroba tanpa resep dokter.


“Mari kita tingkatkan kepedulian dan kesadaran untuk bijak dalam penggunaan dan pengendalian antimikroba sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah, serta mewujudkan Indonesia yang sehat bebas dari penyakit,” tutup Yosef.(Red).

Iklan