Mimbar Keadilan LPW NTB Sorot Mutasi Jabatan di Kota Bima pada Masa Pilkada, Temukan Dugaan Pelanggaran Pj. Walikota

Mimbar Keadilan LPW NTB Sorot Mutasi Jabatan di Kota Bima pada Masa Pilkada, Temukan Dugaan Pelanggaran Pj. Walikota
Lembaga Pengembangan Wilayah Nusa Tenggara Barat (LPW NTB) mengelar mimbar bebas di kedai R_Coffe Kekalik Jaya Kota Mataram. Seni,(07/10/2024).


Mataram, (Beritantb.com) - Lembaga Pengembangan Wilayah Nusa Tenggara Barat (LPW NTB) mengelar mimbar bebas di kedai R_Coffe Kekalik Jaya Kota Mataram. Seni,(07/10/2024).


Diskusi ini merupakan bagian dari Seri Mimbar Keadilan & Pos Partisipasi dan Pengaduan dengan mengangkat tema "Netralitas ASN dalam Pilkada: Akrobat Bongkar Pasang Pejabat di Kota Bima". Diskusi ini hadir sebagai respon atas dugaan pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) oleh Penjabat (Pj.) Walikota Bima, Drs. Mukhtar, M.H.



Dalam kegiatan ini turut hadir sebagai narasumber diskusi, yaitu Taufan, S.H., M.H. selaku akademisi UNRAM , L. M. Nazar Fajri, M.PA. selaku akademisi UNW Mataram, Zaki Akbar, S.H., dan Muamar Adfal, S.H. selaku advokat, dan Maula Sasta selaku peneliti LPW NTB sekaligus Tim Analis RELASI LPW NTB.


Diskusi dimoderatori oleh Owen Chandra selaku Ketua Relawan Advokasi untuk Demokrasi (RELASI). Peserta yang hadir dalam diskusi merupakan mahasiswa dan masyarakat umum.



Dalam sambutannya,Akademisi dari UNRAM Taufan menekankan terkait banyaknya pelanggaran dalam Pilkada, mulai dari netralitas ASN, kampanye yang dilaksanakan tidak sesuai aturan, hingga mutase jabatan pada tahapan pilkada.



Taufan menyoroti bagaimana aparat negara yang tidak netral dan digerakkan dalam Pilkada untuk mendukung paslon tertentu.


Menurutnya, aparat negara berdasarkan amanat peraturan perundang-undangan dilarang terlibat, hal ini Ia anggap berpotensi merusak demokrasi.


"Beberapa waktu terakhir kita dihadapkan pada situasi mutasi jabatan yang terjadi di Kota Bima pada tahap pilkada, hal ini memberikan potensi terhadap pelaksanaan pilkada yang tidak demokratis," ujarnya.


Sementara, Akademisi UNW Mataram L. M. Nazar Fajri menjelaskan bagaimana ASN seharusnya netral dalam segala aspek dan tidak hanya dalam Pilkada. Menurutnya, dengan sengaja mengklik like dalam postingan sosial media paslon saja ASN sudah bisa dianggap melanggar netralitas.


"ASN itu tidak hanya netral ketika Pemilu atau Pilkada, tapi lebih dari itu ketika melaksanakan pelayanan publik saja mereka harus inklusif, mereka dilarang mengutamakan pelayanan hanya kepada suku, agama, ras, dan golongan tertentu," ungkapnya.


Nazar juga menambahkan jika ASN dalam Pilkada tidak netral disebabkan indikasi ingin mendapatkan promosi jabatan secara cepat. Menurutnya, jika ASN dipromosikan atau didemosi karena dukungannya selama Pilkada, maka hal ini bertentangan dengan sistem meritokrasi.


"Bagaimana kita mau mewujudkan budaya meritokrasi kalau ASN yang dipromosikan jabatannya gara-gara membantu pemenangan sang kepala daerah ketika Pilkada dan yang berprestasi justru disisihkan, ini ujungnya bagi-bagi kue kekuasaan. kita dapat cermati ada upaya mengendalikan ASN agar tidak netral, sehingga anggaran yang dikelola sang ASN dapat diarahkan agar menguntungkan paslon tertentu dalam Pilkada," ujarnya.


Sedangkan, Zaki Akbar selaku advokat muda menjelaskan dari aspek hukum dalam mencermati perilaku ASN yang tidak netral.


Menurutnya, mutasi jabatan oleh Pj. Wali Kota Bima menjelang Pilkada tentu dapat mengundang persepsi publik terkait dugaan pelanggaran netralitas ASN.



"Yang menjadi persoalan penting adalah apakah boleh kepala daerah melakukan mutasi jabatan menjelang Pilkada ? Jawabannya adalah pada dasarnya dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, PJ Kepala daerah dilarang melakukan mutasi jabatan dalam enam bulan sebelum penetapan hasil Pilkada, namun ada ketentuan lebih lanjut yang memperbolehkan yaitu harus ada persetujuan menteri terlebih dahulu. Itupun harus dengan alasan yang sah dan mendesak ," jelasnya.



Zaki menambahkan persepsi publik juga bisa saja menduga mutasi jabatan menjelang pilkada berpotensi dalam rangka mengerahkan atau menguntungkan salah satu golongan atau kelompok politik tertentu dalam Pilkada.


"Misalnya mutasi jabatan kepala satpol PP, jabatan ini bertanggung jawab dalam pengawasan ketertiban umum, termasuk dalam masa kampanye Pilkada. Mutasi pada posisi ini menimbulkan kecurigaan potensi adanya upaya untuk mempengaruhi pengawasan terhadap pelaksanaan kampanye yang bisa memihak pada salah satu kandidat. Kemudian misalnya mutasi jabatan kepala dinas Pendidikan, jabatan strategis Kepala Dinas Pendidikan memiliki pengaruh atas kepala sekolah dan tenaga pendidik. seperti potensi memobilisasi dukungan dari kepala sekolah, para guru dan orang tua siswa.” ujarnya.



Zaki juga memberikan solusi jika ada pelanggaran netralitas yang dilakukan ASN dengan melaporkan kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Bawaslu, Menteri Dalam negeri, hingga Gubernur.



"Pelanggaran netralitas ASN ini bisa dilaporkan pertama ke Komisi Aparatur Sipil Negara, kedua karena ini menjelang pilkada bisa juga kepada Bawaslu, Hingga dapat menyampaikan laporan kepada Menteri dalam negeri atau melalui Gubernur” ujarnya.


Hal yang senada, Peneliti LPW NTB, Maula juga menekankan bagaimana pelanggaran terhadap netralitas ASN khususnya dalam melakukan penggantian pejabat daerah dapat melanggar hukum pidana.


"Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 71 UU Pilkada adalah pejabat negara, pejabat daerah, gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota serta kepala desa dan lurah dilarang untuk membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan paslon tertentu. Juga dilarang untuk melakukan penggantian pejabat dari 6 bulan sebelum penetapan pasangan calon sampai berakhirnya masa jabatan. Jika dilanggar, maka ada sanksi pidananya sebagaimana diatur dalam Pasal 187, Pasal 188, dan Pasal 190 UU Pilkada," jelasnya.


Maula menambahkan, selain melanggar hukum pidana, penggantian pejabat tersebut juga dapat dibatalkan berdasarkan mekanisme peradilan TUN.



"Dalam Pasal 53 ayat (2) UU Peradilan TUN disebutkan dasar KTUN dapat digugat, yaitu jika KTUN bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau jika KTUN bertentangan dengan AAUPB, maka dalam hal Pj. Walikota Bima mengganti pejabat dari Kepala Satpol PP, Sekretaris Dewan Kota Bima, Kepala BKPSDM, dan Kepala Dishub, lalu penggantian tersebut diduga tidak sesuai dengen ketentuan Pasal 71 UU Pilkada, maka penggantian tersebut merupakan kesewenangan dan dapat digugat," jelasnya.


Salah satu penanggap dari peserta yang hadir dalam diskusi menyatakan keresehannya, yaitu canggihnya kecurangan yang dilakukan dalam Pilkada misalnya dengan masifnya mobilisasi ASN, sehingga Ia menyayangkan tidak adanya alat yang mumpuni untuk menandingi kecurangan Pilkada dan pengawasan Pilkada akhirnya menjadi lemah serta tidak berdaya jika menghadapi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif.


Penanggap lain, yaitu Affan selaku Ketua DPM UNRAM menyampaikan jika pelaksanaan Pilkada saat ini sangat jauh dari yang dikehendaki, dimana adanya kejomplangan antara teori atau yang dikehendaki dalam peraturan dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Pihak seperti pejabat negara hingga kepala desa yang diharapkan netral justru menjadi penggerak massa untuk memberikan dukungan kepada paslon tertentu.



Muamar Adfal, juga menggambarkan Pilkada sebagai perebutan kekuasaan oleh para pemilik modal dan para pemilik kekuasaan di pemerintahan serta bagaimana kecurangan Pilkada dipertontonkan tanpa rasa malu.

Pada akhir sesi, Owen Chandra, menguraikan kesimpulan dari acara ini yaitu tim Relawan Advokasi untuk Demokrasi (RELASI) akan memasukan terkait laporan terkait dugaan pelanggaran yang terjadi.


“Saya sebagai Ketua Relawan, akan memberikan atensi dan catatan. Kami akan memasukan laporan”, tutupnya.

Iklan