Oleh Lalu Pahrurrozi (Ketua DPW Gelora Provinsi NTB
- Peneliti Nusra Institute)
Dua tahun terakhir, persoalan utang pemerintah provinsi NTB menjadi isu yang menarik perhatian publik. Misalnya untuk tahun anggaran 2021, laporan keuangan Pemprov NTB mencatat utang Pemprov sebesar Rp 685,054 Miliar atau tumbuh 144 persen dari total utang pada tahun anggaran 2020 sebesar Rp 280,78 Miliar. Salah satu sumber utang pemerintah pada waktu itu yaitu beberapa pekerjaan kontraktor yang telat bayar.
Bagaimana dengan tahun anggaran 2022? Rupanya masalah yang dikeluhkan pada tahun 2021, kembali terulang pada tahun 2022, ratusan miliar hak kontraktor belum diselesaikan oleh Pemprov NTB hingga kini.
Silih berganti para kontraktor ini menuntut haknya. Meminta peluh mereka segera dilunasi. Namun, sampai hari ini titik terang belum kunjung terlihat, meski sudah berjalan jauh hingga ujung terowongan.
Mengapa masalah ini terus berulang? Dari mana sumber masalah itu? Umumnya sebagian orang menjawab, karena Covid-19 datang, keuangan daerah terganggu. Benarkah jawaban itu? Mungkin ada sedikit benarnya, tapi lebih banyak salahnya. Mengapa?
Pada tahun 2019, total pendapatan daerah yang berhasil dikumpulkan sebesar Rp 5,197 Triliun. Pada tahun 2020, pendapatan sedikit terkoreksi sekitar 0,45 persen menjadi 5,174 Triliun. Sekali lagi, datangnya Covid-19 hanya mengoreksi sedikit total pendapatan daerah. Itu pun karena berkurangnya dana transfer dari pemerintah pusat, sementara penerimaan PAD (pendapatan asli daerah) justru bertambah.
Lalu, mengapa penerimaan PAD bertambah padahal ada Covid-19? Karena sumber penerimaan PAD provinsi berasal dari kepemilikan kendaraan bermotor dan konsumsi rokok? Apakah kepemilikan itu berkurang dan konsumsi rokok berkurang karena covid-19?
Bagaimana dengan pendapatan daerah pada tahun 2021? Total pendapatan tahun 2021 meningkat 2,9 persen atau setara Rp 152 Miliar menjadi Rp 5,326 Triliun.
Sekarang, kita kembali bertanya, jika total pendapatan daerah cenderung tidak terganggu karena covid-19, bahkan pada tahun 2021, total pendapatan provinsi meningkat Rp 152 Milyar (2,9 persen), mengapa tren jumlah utang meningkat, mengapa tren kontraktor tidak terbayar pekerjaannya juga meningkat?
Jawaban sederhananya kurang lebih begini, pertumbuhan keinginan untuk belanja daerah, lebih tinggi dari pertumbuhan pendapatan daerah.
Sekarang ada pertanyaan baru lagi, darimana sumber pertumbuhan keinginan untuk belanja daerah yang jauh meningkat, dan melampui potensi pendapatannya?
Jawaban pertama, adanya belanja dan kegiatan daerah yang tidak direncanakan secara matang, tapi tiba-tiba nyelip menjadi agenda strategis daerah. Misalnya MXGP, kegiatannya bagus, tapi menguras sumber daya daerah, perhatian birokrasi dan sumber daya keuangannya. Lho, bukannya kegiatan itu tidak menggunakan APBD? Sebuah kegiatan yang “disponsori” daerah, dan tidak ada nomenklaturnya pada APBD niscaya menggunakan dana non-budgeter. Apakah itu sehat?
Tindakan pemerintah non-budgeter, itu menunjukkan buruknya perencanaan dan tata kelola keuangan daerah. Menurut Anda, memobilisasi dukungan acara, pergerakan ribuan ASN untuk menonton acara MXGP, dukungan logistik untuk pelaksanaan MXGP, itu bersumber dari dana charity (shodaqoh dan yang semacamnya) atau dari sponsor yang baik hati? Come on.....
Nah ini jawaban kedua, yang mungkin “make sense” dengan pemberitaan yang menghangat akhir-akhir ini. Membengkaknya belanja daerah, terjadi karena membengkaknya kegiatan direktif kepala daerah (khususnya gubernur) dan aspirasi pokir dari para anggota dewan. Saking besarnya pembengkakan belanja tersebut, peningkatan jumlahnya melebihi kemampuan pendapatan daerah untuk tumbuh. Mungkin bahasa yang lebih kasar dari fenomena ini, munculnya sifat “greedy”, kerakusan pada fasilitas kekuasaan yang diberikan.
Jadi bagaimana menjelaskan, jika pendapatan ternyata bertambah, tapi utang juga bertambah? Saya sederhanakan alasannya; manajemen keuangan pemerintah daerah yang buruk. Atau dapat dikatakan, besar pasak dari pada tiang.