Foto Khaerul Anwar, Wartawan Senior dan Anggota Dewan Kebudayaan Provinsi NTB |
Oleh: Khaerul Anwar
Apa Kabar Bahasa Kore….
“Apa kabar Bahasa Kore pak…?”. Itu
pertanyaan saya kepada Afifudin, Kepala Sekolah SMAN 1 Sanggar, Kabupaten Bima,
Nusa Tenggara Barat, seusai Afifudin
mempresentasikan program kerja dalam acara bertajuk Evaluasi Kinerja para
kepala sekolah SMAN dan SMKN se- Pulau Sumbawa, Kamis (12/10/2023) di Kantor
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB, Mataram, Lombok.
“He he, baik pak. Iya penutur bahasa
Kore kini kalangan usia tua saja. Tetapi kami berupaya melestarikannya, dan
memasukkannya sebagai muatan lokal, biar para siswa kenal dan mau menggunakanya
untuk berkomunikasi, selain bahasa Mbojo yang menjadi bahasa pengantar tiap
hari bagi masyarakat Bima dan Dompu (Mbojo),” ujar Afifudin.
Desa Kore termasuk Kecamatan
Sanggar, yang dulunya adalah sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sanggar. Namun
bersama dua kerjaaan lainnya, Kerajaan Pekat dan Tambora, terkubur oleh letusan
dahsyat Gunung Tambora 10 April 1815, termasuk memusnahkan sebuah kebudayaan.
Jejak kebudayaan itu masih tersisa pada bahasa lokal, bahasa Kore yang
digunakan kalangan tua.
Bahasa Kore disebut sebagai salah
satu varian dialek Mbojo, meliputi dialek Sarasuba, Wawo, Kolo dan Kore. (https://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Bima,
diunduh Kamis 19 Oktober 2023). Namun
masyarakat Desa Kore, Desa Piong dan Taloko, menyebutnya bahasa Kore, dengan
pengguna sekitar 30 persen populasi dari 3.000 jiwa tiap desa itu, kata M
Suhada Saleh, yang masih fasih dan pengajar bahasa Kore di SMAN 1 Sanggar.
Menurut Suhada, yang sudah
menghimpun 4.000 kata bahasa Kore, diajarkan pada siswa kelas I yang meliputi
tiga kelas, yang rombongan belajarnya 30 orang per kelas. Pengajarannya
dilakukan tiga kali seminggu, dan tiap kelas dapat jatah satu kali dalam
sepekan. “Anak-anak umumnya cepat sekali hafal kata-kata, dan mereka praktekkan
dalam percakapan,” tuturnya. “Biar mudah, bahasa Kore saya terjemahkan dalam
bahasa Mbojo, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris”.
Tampaknya ada perbedaan Bahasa Kore
(BK) dengan bahasa Mbojo (Mb): muncu (BK) =
utam beca (Mb) atau sayur. Ncai (Mb) = oro (BK) atau jalan, koko (BK) =
oha (Mb) atau makan, kiwa (BK) = uta (Mb) berarti ikan, ngino (BK) = nono (Mb)
berarti minum, mbau (BK) = sahe (Mb) atau kerbau, kemudian janah (BK) = jara
(Mb) berarti kuda, ndalo-ndalo (BK) = lampa-lampa (Mb) atau jalan kaki
Warga Desa Sambori, yang dikenal sebagai Donggo Ele (tenggara), yang tinggal di pegunungan Lambitu, juga memiliki bahasa berbeda. Misalnya, kekasih dalam bahasa Sambori dikatakan la'i atau dou mee dalam bahasa Bima. Kakak, oleh masyarakat Sambori disebut aa' atau sa'e dalam bahasa Mbojo. Bila masyarakat Sambori mengatakan kambau untuk kerbau, maka bahasa Bima disebut sahe. Demikian juga ayam, oleh masyarakat Sambori dikatakan manu atau sinonim dengan janga dalam bahasa Bima. (Kompas Minggu 24 April 1994, hal 15).
Dari telusur pustaka diketahui, Rahmatia Ardila, mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Semarang, yang menyusun tesisnya ‘Pemertahanan Bahasa Inge Ndai dalam Ranah Keluarga pada Masyarakat Lambitu’, menyebutkan, masyarakat Donggo Ele punya Bahasa tersendiri yang disebut Inge Ndai. Sedang selama ini di Bima dikenal dialek Wawo, Kolo, Serasuba dan Kore, dimana Bahasa Sambori dimasukan sebagai salah satu dialek wawo, yang justru berbeda dengan Inge Ndai. (https://alanmalingi.wordpress.com/2020/06/28/menyelamatkan-bahasa-inge-ndai/, diunduh Rabu 18 Oktober 2023).
‘Wajah lain’
Dalam laman itu juga dikatakan, Inge Ndai termasuk
bahasa Bima lama yang dituturkan orang Donggo Ele. Di Donggo Ipa (barat) pun pernah
dituturkan bahasa Bima lama pada sejumlah desa di
Donggo. Bahasa Bima baru adalah bahasa Bima sekarang (Nggahi Mbojo). Bahasa Inge
Ndai adalah bahasa “minoritas” yang dituturkan masyarakat Lambitu. Bahasa Inge Ndai meliputi 7 sub-dialek, Tersebar di enam desa di kecamatan Lambitu: Sambori dengan dialek halus,, Kuta dialek intonasi sedang. Kaboro, Londu dan Kaowa dengan dialek intonasi tinggi. Desa Teta
terdapat dua dialek intonasi tinggi: Dusun Teta Awa dan Teta Ese.
Menurut Anwar Hasnun, budayawan, tokoh bahasa dan sastra yang banyak menulis buku
tentang sastra lisan Bima, dalam laman sama, bahasa Inge Ndai
termasuk bahasa Bima lama yang dituturkan oleh orang Donggo Ele. Di Donggo Ipa
pun pernah dituturkan bahasa Bima lama di sejumlah desa di Donggo. “Saya dan tim Majelis Kebudayaan Mbojo telah mengumpulkan kosa
kata Inge Ndai, Kolo dqn Kore yang memang berbeda dengan Nggahi Mbojo. Dari
hasil pengumpulan itu, rumpun Inge Ndai memiliki perbedaan yang jauh dengan
Bahasa Bima. Perbedaan itu melebihi 80 porsen dengan bahasa Bima. Dalam kaidah
linguistik jika sebuah dialek melebihi 80 porsen dari bahasa induknya, maka
dialek itu bisa menjadi bahasa yang mandiri, begitu kata Alan Malingi (alm).
Dari aspek bahasa, kita dapat melihat ‘wajah lain’ masyarakat Kabupaten
Bima dan Kota Bima, yang majemuk, ada keberagaman dan warna-warni yang
merupakan realitas alam semesta, sunatullah sebagai kehendak Allah swt. Dalam
kebergaman itu, warganya mampu menciptakan kesefahaman, toleransi, kenyamanan,
ketenteraman, sehingga menjadi masyarakat yang kokoh, sejalan dengan semboyan
Bhinneka Tungga Ika. (erul arantiang)