Kisah ”Gora” Si Pengubah Nasib Lombok Selatan

Cover Buku Gora, Sejarah Peradaban Pertanian Lombok


Krisis pangan atau beras di Lombok Selatan, Nusa Tenggara Barat, telah ada pada zaman kolonial Belanda akibat gagal tanam dan gagal panen. Di wilayah ini musim hujan hanya berlangsung tiga bulan, sementara sembilan bulan sisanya adalah musim kemarau.


Akibat gagal panen, penduduk Lombok Selatan harus berpuasa beras yang mengakibatkan masalah kesehatan, seperti malnutrisi. Krisis beras yang ada sejak zaman kolonial Belanda (1930) itu juga menjadi masalah bagi dua Gubernur NTB, Moch Roeslan Tjakraningrat (1958-1966) dan R Wasita Kusumah (1968-1979).



Krisis pangan di Lombok baru menemukan jalan keluar setelah Solichin GP bersama tim memadukan cara bertani lahan kering dengan lahan basah yang disebut metode gogo rancah (gora) pada 1980. Metode gora diprakarsai Profesor Dr Sjamsudin Djakamihardja, ahli pertanian Universitas Pertanian Bandung.


Asal bisa makan


Lewat buku Gora, Sejarah Peradaban Pertanian di Lombok karya Khaerul Anwar, kelamnya masalah kelaparan di Lombok Selatan berhasil direkam. Buku ini merupakan kumpulan tulisan penulis saat masih aktif sebagai wartawan harian Kompas yang wilayah liputannya meliputi Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa.


Kedekatan dan pendalaman penulis terkait isu kelaparan di Lombok Selatan tampak pada keragaman tulisan yang mencapai 26 bab. Berbagai isu tentang kelaparan diangkat mulai dari ”Kisah Guru Bolang dan Makan Bulgur Mentah” (bab 4); ”Warige, dan Sang Pemandu Musim” (bab 8); hing-

ga ”Relasi Sosial dalam Taliq Pare di Lombok” (Bab 12) menunjukkan sudut pandang yang luas dalam satu topik kelaparan.


Akar permasalahan krisis pangan di Lombok Selatan disinggung pada awal buku. Pada bab berjudul ”Santap Umbi-umbian Asalkan Perut Kenyang” (bab 3), kondisi alam yang kering kerontang bukan satu-satunya penyebab krisis pangan.


Perilaku yang boros dalam acara selamatan pascapanen padi menjadi salah satu sebab masyarakat kehabisan pangan di tengah musim. Beras yang seharusnya disimpan habis sebelum musim berikutnya.


Saat menanti musim panen berikutnya, masyarakat cenderung berpikir pendek. Dengan pola pikir ”asal bisa makan”, mereka mengambil jalan pintas, seperti mencuri tanaman ubi kayu di sawah atau memburu pohon buah-buahan.


Perilaku masyarakat yang boros juga diangkat dalam artikel ”Air, Tanah, Tradisi, Biang Kelaparan” (bab 7). Bab ini membahas realitas sosial dan kondisi sosial masyarakat Lombok Selatan. Selain faktor alam, perilaku konsumtif juga menjadi pemicu kelaparan. Setelah petani menjual hasil panen, mereka menggunakan uangnya untuk membeli barang yang bukan kebutuhan utama.


Jalan keluar


Solusi krisis pangan dijabarkan pada bab 19 (hlm 133) yang membahas sejumlah upaya pemerintah. Salah satunya lewat pembentukan Gugus Tugas Lombok yang dibantu oleh Operasi Widjaja Koesoema pada periode 1966-1967.


Menurut Menteri Pertanian (saat itu) Mayjen (TNI) Soetjipto, Gugus Tugas Lombok merupakan program rintisan yang harus melakukan upaya konkret secara terus-menerus. Gugus Tugas Lombok memiliki kegiatan yang salah satunya menanam padi dengan sistem gora di areal lahan seluas 1.000 hektar. Kegiatan ini merupakan program percontohan untuk menghadapi musim paceklik.


Gugus Tugas Lombok memberikan bantuan berupa bibit jagung, sorgum, kedelai, kacang hijau, kacang panjang, dan pupuk kepada petani. Namun, pelaksanaan program ternyata tak sesuai jadwal dan hanya sebagian kecil yang terealisasi.


Selain itu, ada pula proyek bimbingan massal (bimas) dengan sasaran peningkatan produksi padi lewat panca usaha (bibit unggul, pengelolaan tanah dengan sempurna, pupuk, obat-obatan, dan pengairan) seluas 19.792 hektar pada musim tanam 1966-1967. Namun, program ini juga kurang berjalan.


Masih dalam bab yang sama, berbagai kegagalan program Gugus Tugas Lombok dievaluasi (hlm 136). Terhambatnya program, antara lain, disebabkan bibit tidak datang tepat waktu karena persoalan transportasi hingga administrasi.


Setelah berbagai kebuntuan, Pemerintah Provinsi NTB melaksanakan gerakan massal, yakni Usaha Tani Terpadu Tepat Guna dengan fokus pada intensifikasi padi gogo rancah. Pelaksanaannya ditangani Satuan Tugas Operasi Tekad Makmur (OTM) dan lintas sektoral Lombok Selatan.


OTM merupakan tindak lanjut dari diskusi antara petani, tokoh masyarakat, tokoh agama, jajaran pemerintah daerah tingkat II, dan pemerintah daerah tingkat I Provinsi NTB. Diskusi itu dipimpin Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan (Sesdalopbang) Solichin GP.


Pelaksanaan OTM dimulai pada 12 Juni 1980, ditandai dengan lomba mengolah tanah sawah yang ditanami padi gogo rancah pada musim tanam 1980/1981 di Desa Kawo, Lombok Tengah. Program gora pada musim tanam ini dilaksanakan di areal seluas 26.200 hektar.


Keberhasilan gora


Keberhasilan gora melalui gerakan OTM dibahas pada tulisan ”Berdaya Setelah Rentan” (bab 22) dan ”Lombok Swasembada Beras Awal Abad Ke-19” (bab 23). Keberhasilan program gora ditandai dengan julukan ”Bumi Gora” pada NTB.


Kesuksesan program gora diakui dunia dan mendapat perhatian dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Atas prestasi ini, Presiden Soeharto diundang pada upacara peringatan 40 tahun badan pangan PBB, di Roma, Italia, 14 November 1985.


Program ini dinilai sukses karena produksi padi Lombok Selatan berkontribusi terhadap swasembada pangan nasional. Pada 1984-1996, total produksi padi selalu melebihi kebutuhan domestik. Puncaknya, Indonesia mampu menyumbang 100.000 ton beras ke Vietnam dan Afrika. Beras sumbangan itu di antaranya hasil produksi beras dari Lombok Selatan.


Secara keseluruhan publikasi yang berisi kumpulan tulisan sejarah pertanian di Lombok ini menyinggung satu topik dalam bab berbeda. Format kumpulan tulisan membuat sejumlah informasi berulang dan terkadang melompat. Meski demikian, benang merah di setiap tulisan tetap dapat memberikan gambaran utuh tentang keberhasilan program gora yang dilaksanakan di NTB.


Memang tanah sawah di Lombok Selatan memerlukan cara untuk menyiasatinya agar menjadi produktif. Terlebih lagi leluhur suku Sasak, Lombok, sudah mengingatkan generasi penerusnya lewat sesenggak (peribahasa), ”sie dait acan doang ndeqaraq leq bangket (garam dan terasi saja yang tidak ada di sawah)”.


INGGRA PARANDARU Litbang Kompas


Dikutip dari Harian Kompas, Minggu 30 April 2023

Iklan