Menyelamatkan Demokrasi dari Tangan Kekuasaan.

 

Menyelamatkan Demokrasi dari Tangan Kekuasaan.
Abdurrahman, Mahasiswa jurusan Adminitrasi Publik, Fakultas Fisipol Universitas Widya Mataram Yogyakarta. 


Oleh: Abdurrahman 

(Presiden Mahasiswa Univerisitas Widya Mataram Yogyakarta Periode 2022-2023 dan periode sekarang 2023-2024.)


Gagasan demokrasi sangat erat kaitanya dengan perkembangan negara modern. Negara modern muncul berbagai macam kompleksitas sosial politik yang jalin-menjalin hingga menimbulkan identitas dan kesadaran kolektif baru mengenai negara pada masyarakat, semisal di eropa selama abad ke-16 dan 17. Dimensi yang terpenting dari perkembangan ini adalah terjadinya proses sekularisasi. Sekularisasi menghendaki kekuasaan negara dipisahkan dari kekuasaan gereja yang dipegang oleh paus.


Konsekuensi dari pemisahan ini adalah hilangnya kekuasaan paus yang bersifat kosmopolit dan diganti dengan negara yang berdasarkan atas kebangsaan atau negara-bangsa (nation-state). Secara yuridis, eksitensi negara bangsa ini dituangkan dalam perjanjian westphalia tanggal 26 oktober 1648 yang menyepakati bentuk negara bangsa sebagai perimbangan kekuasaan baru yang menggantikan bentuk negara feodal dan kekuasaan paus eropa.


Salah satu hasil dari sekularisasi yang sangat berpengaruh pada lahirnya demokrasi modern adalah gagasan menegenai kedaulatan (sovereignty). Gagasan kedaulatan ini telah membawa implikasi pada terbentuknya sentralisasi adminitrasi dan batasan teritorial negara yang relatif jelas. Komunitas politik dipandang lebih otonom, tidak lagi tunduk dibawah otoritas keagamaan. Negara lalu didefinisikan secara sekular sehingga kedaulatan dipahami sebagai perwujudan dari apa yang disebut sebagai kehendak bersama, kebaikan umum dari masyarakat.


Begitupun indonesia mengalami hal sama dimana demokrasi dihidupkan agar keterlibatan masyarakat tidak hanya sebagai pemanfaatan dalam pemilu maupun dalam meraih kekuasaan.


Pemilu dalam cengkraman elite.


 Indonesia mengalami perjalanan yang panjang dalam membangun negara. Bisa kita lihat adanya amandemen UUD 1945 yang mengubah secara fundamental struktur ketatanegaraan indonesia pada hakikatnya merupakan bagian dari proses kebangsaan dalam menemukan demokrasi yang cocok bagi bangsa indonesia. Dalam perjalanan sejarah kebangsaan indonesia upaya untuk menemukan demokrasi tersebut telah menyakibatkan pergantian sistem pemerintah sejak pertama kali pada bulan november 1945 yang mengubah sistem pemerintahan menurut UUD 1945 menjadi parlementer yang kemudian di kembalikan lagi kepada sistem UUD 1945 pada tahun 1959 oleh bung karno dan terakhir berganti kembali melalui amandemen UUD 1945.


Upaya tersebut menunjukan bahwa demokrasi merupakan salah satu masalah terpenting yang muncul sepanjang sejarah kehidupan ketatanegaraan indonesia. Semua rezim pemerintahan di indonesia selau menggunakan demokrasi sebagai legitimasi konstitusionalnya, seperti tampak dalam penyebutan demokrasi liberal (1945-1959), demokrasi terpimpin (1959-1966), dan demokrasi pancasila (1966-1998). Tidak semua upaya tersebut dianggap berhasil menghadirkan sistem demoktrasi yang sebenarnya. Sebaliknya, sebagai besar upaya tersebut justru melahirkan sistem otoriter. Oleh karena itu, perlu dilakukan amandemen atas UUD 1945 sebagai cara untuk membangun sistem demokrasi yang sesungguhnya di indonesia.


Namun, terlepas dari segala kegagalan yang pernah terjadi dalam upaya menemukan demokrasi tersebut, tampak bahwa sesungguhnya sejak pertama kali muncul pergerakan kemerdekaan indonesia hingga memasuki alam kemerdekaan, wacana demokrasi tidak pernah absen dalam kehidupan ketatanegaraan di indonesia. Hasil amandemen UUD 1945 bukan harga mati yang mengakhiri proses demokrasin di indonesia. Amandemen UUD 1945 justru memberikan tanda bagi terjadinya perubahan terus menerus dalam kehidupan konstitusional di indonesia sekaligus membuka kesadaran bahwa demokrasi adalah sistem yang dinamis dan terus berkembang seiring pertumbuhan masyarakat indonesia dan peradaban manusia pada umumnya.


Demokrasi menjujung tinggi kebebasan berpendapat pada setiap individu, begitupun dengan pemilu, sehingga memilih atau tidak memilih adalah hak politik, dimana hak politik tersebut bisa dipakai atau tidak. Bila kita memakai untuk memilih akan diadminitrasikan dengan baik berdasarkan asas luber dan jurdil. Asas tersebut diterapkan dalam sistem pemilu, dimana pemilu merupakan bagian demokrasi, sehingga suara-suara yang diamanatkan kepada KPU sebagai pelaksana akan diadminitrasi menjadi berbagai dokumen yang juga dalam perhitungannya juga diawasi oleh bawaslu maupun pemantau pemilu.


Dalam negara demokrasi, pemilu berintegritas harus dijadikan kenyataan, sehingga bukan hanya slogan semata. Meskipun secara sistem sudah dibangun dengan baik karena ada DKPP yang menjadi penjaga etik para penyelenggara pemilu. Namun sistem penyelenggaraan pemilu tersebut menjadi sia-sia ketika komitmen kebangsaan para elit politik dan para pemimpin negeri ini minim. Hal ini bisa dilihat, bahwa banyak elit politk hanya mengabdi kepada golongan atau kekuatan politik tertentu. Sehingga oligarki bersemi di republik ini, dengan banyak praktek korupsi yang dilakukan oleh para pejabat, untuk mengakses pelayanan publik harus ada orang dalam dan praktek lainnya yang mencerminkan adanya diskriminasi merupakan tindakan yang bisa membunuh demokrasi itu sendiri.


Menuntun ke arah demokrasi sejati.


Dengan kata lain bagaimana jika demokrasi sejati dimungkinkan? Dalam cerita torres berawal pada 31 oktober 2004, hari pemilihan umum. Dua calon memperebutkan jabatan walikota: petahana javier oropeza, tuan tanah kaya yang didukung media komersial, dan walter cattivelli, yang didukung partai yang berkuasa presiden hugo chavez.


Tak banyak pilihan, Oropeza atau cattivelli yang mana pun yang menang, tatanan korup bakal terus memegang kendali. Jelas tidak ada yang memberi kesan bahwa torre akan menciptakan ulang masa depan domokrasi. Sebenarnya ada calon lain, meski tidak diperhitungkan. Seperti Julio chavez merupakan seorang agitator pinggiran yang pendukungnya hanya segelintir mahasiswa, koperasi, dan akitivis serikat buru.


Lawan-lawannya tidak menganngap serius julio chaves. Tak ada yang mengira dia punya peluang. Namun kadang revolusi terbesar dimulai di tempat tak terduga. Pada hari minggu bulan oktober itu, dengan hanya 35,6 persen suara dari tiga calon, julio chavez menang tipis dalam pemilihan wali kota torres. Revolusi lokal bermula dengan ratusan pertemuan, semua warga diperbolehkan hadir, bukan hanya untuk memperdebatkan masalah, melainkan juga membuat keputusan sungguhan. Seratus persen anggaran investasi kota, kira-kira tujuh juta dolar, bisa mereka belanjakan.


Sang walikota baru mengumumkan, sudah waktunya untuk demokrasi sejati. Waktu rapat diruang pengap, dengan kopi tidak hangat, lampu neon, dan pembukuan tak habis-habis. Waktunya pemerintahan dijalankan bukan oleh pamong praja dan politikus karier, melainkan warga torres itu sendiri.


Yang terjadi di torres itu hanya satu contoh di antara banyak. Cerita lebih besarnya berawal bertahun-tahun sebelumnya, ketika satu kota di brasil mengambil langkah yang belum pernah dilakukan, mempercayakan seperempat anggarannya kepada warga. Kota itu porto alegre, pada tahun 1989. Satu dawarsa kemudian, gagasan itu ditiru oleh seratus lebih kota di brasil, dan dari sana mulai menyebar ke seantero dunia. Pada tahun 2016, seribu lima ratus lebih kota, dari new york city sampai sevilla dan dari hamburg sampai kota meksiko, telah menerapkan suatu bentuk penganggaran partisipatif.


Kita sedang membahas salah satu pergerakan terbesar pada abad ke 21 tapi kemungkinan kita tak pernah mendengar mengenainya. Karena memang tidak menarik diberitakan. Politikus warga tidak punya daya tarik untuk acara televisi, atau uang untuk kampanye iklan politik. Mereka tidak punya slogan untuk diumbar dalam debat, dan tidak peduli hasil jajak pendapat.


Yang politikus warga lakukan adalah terlibat dialog tenang dan beradab. Boleh itu kedengaran membosankan, tapi justru ajaib. Barangkali itulah penangkal tujuh wabah yang melanda demokrasi tua kita yang lelah ini. Sebagian besar negara, ada kesenjangan besar antara rakyat dan elite politik. Ketika para petinggi di washington, beijing,, brussels maupun indonesia membuat sebagian besar keputusan, tak heran jika orang biasa merasa tak didengarkan dan tak terwakili.


Kita bisa melihat bagaimana di torres dan prto alegre hampir semua orang kenal secara pribadi dengan satu politikus. Karena sekitar 20 persen populasi telah ikut serta dalam penyusunan anggaran kota, lebih sedikit keluhan mengenai politikus yang berbuat kekeliriuan. Coba saja indonesia seperti itu, melibatkan masyarakatnya dalam penyusunan anggaran maupun visi misi dalam membangun negara yang kita cintai ini.


Saya belum sadari adalah bahwa komunisme menurut definisi resmi, setidaknya telah menjadi sistem yang sukses selama ratusan tahun, tanpa ada mirip-miripnya dengan uni soviet. Faktanya, kita mempraktekannya saban hari. Bahkan sesudah puluhan tahun swastanisasi, bagian-bagian besar ekonomi kita masih beroperasi menurut model komunis. Itu sangat normal, sangat jelas, sampai-sampai kita tak lagi melihatnya.


Contoh sederhana: anda duduk di meja makan dan tidak bisa menjangkau tempat garpu. Anda bilang, “tolong ambilkan garpunya”, dan seorang mengambilkan garpu untuk anda tanpa bayaran. Manusia selalu melakukan itu komunisme sehari-hari seperti itu, demikian istilahnya menurut antropologi, berbagi taman dan alun-alun, musik dan cerita, pantai dan tempat tidur.


Barangkali contoh terbaik liberalitas itu adalah rumah tangga. Miliaran rumah di seluruh dunia diatur berdasarkan prinsip komunis: orang tua berbagi barang miliknya dengan anak-anak, dan memberi semampunya. Atau pun kita berbagi rokok dengan teman-teman tongkrongan tanpa memintanya untuk mengganti rokok yang dia hisap, itulah asal kata “ekonomi”, dari kata yunani oikonomia, berarti “pengelolaan rumah tangga”. Di tempat kerja kita juga terus menerus menunjukan komunisme. Misalnya, selagi menulis buku, ada teman-teman yang memberi pandangan kritis yang tak minta bayaran.


Kehidupan kita dipenuhi perbuatan-perbuatan komunis jenis itu. Kata “komunisme” berasal dari kata latin communis, artinya “bersama”. Anda dapat melihat komunisme sebagai dasar segala hal lain pasar, negara, birokrasi. Boleh jadi itu menjelaskan maraknya kerjasama dan alturisme yang terjadi sesudah bencana alam, seperti di New Orleans pada 2005. Apabila bencana kita kembali ke akar.


Tentu saja, kita tidak bisa mengharapkan cita-cita komunis “dari tiap orang sesuai kemapuannya, untuk orang yang sesuai kebutuhannya,” sebagaimana tidak semua hal bisa dinilai dengan uang. Namun kalau dipandang lebih jauh, kita akan menyadari bahwa sehari-hari kita lebih banyak berbagi dengan sesama dibandingkan menyimpan sendiri.


Basis komunal adalah dasar vital kapitalisme. Pikirkan bagaimana perusahaan sangat bergantung kepada kemurahan hati konsumennya. Facebook bakal bernilai jauh lebih kecil tanpa gambar dan vidio yang dibagi jutaan penggunanya secara gratis.


Jadi mengapa kita buta terhadap komunisme kita sendiri? Barangkali itu karena hal-hal yang kita bagi tak tampak luar biasa. Kita bisa berbagi. Tak ada yang harus mencetak brosur untuk menjelaskan ke oarang betapa asyiknya berjalan-jalan di bali dengan keindahan pantainya, tak perlu ada pengumuman bahwa udara bersih harus dihirup. kita juga tak berpikir bahwa udara atau pantai tempat bersantai, atau suatu dongeng, bukannya itu milik kita semua?


Namun, makin banyak hal milik bersama ditelan pasar dan negara. Awalnya adalah para kepala suku dan raja-raja, yang mengklaim tanah yang tadinya dibagi untuk semua orang. Hari ini, yang menguasai berbagai macam hak milik bersama adalah perusahaan multinasional, oligarki-oligarki, dan para elite kekuasaan.


Iklan