Presiden Silih Berganti, Aksi kamisan Tetap Berdiri.

 

Presiden Silih Berganti, Aksi kamisan Tetap Berdiri
Abdurrahman, Mahasiswa jurusan Adminitrasi Publik, Fakultas Fisipol Universitas Widya Mataram Yogyakarta


Oleh: Abdurrahman 

(Presiden Mahasiswa Univerisitas Widya Mataram Yogyakarta Periode 2022-2023 dan periode sekarang 2023-2024.)


Setiap kamisan adalah menunggu, bersama malam yang akan habis, kalender yang di robek, dan dinihari dicegat dengan pertanyaan yang setengah tertelan, 'apa yang akan datang? Siapa yang bakal datang? Mungkin sebab itu setiap kamisan berada diambang kedatangan. Sesuatu yang penting dan ditunggu, sesuatu yang belum jelas apa, mungkin sesuatu yang mustahil, sebuah mukjizat, tapi mungkin juga sebuah bencana.


Setiap kamis adalah awal orang meniti buih di selat yang gelap yang terkadang rusuh. Di seberang, hanya beberapa langkah lagi, terbentang kurun waktu dimana harapan bisa memukau tapi bisa juga lancung. Kini kita gamang. Terutama karena kita telah sering harus bersandar pada kepercayaan yang patah. Yang kita punyai hanya beberapa bekas kekerasan, rasa terkecoh oleh impian, rasa cemas.


Ini bisa dibuktikan dengan lahirnya Aksi Kamisan yang digagas oleh Sumarsi, Suciwati, dan korban-korban Orde Baru yang lain pada 18 Januari 2007. Aksi Kamisan saat ini sudah menyebar ke beberapa daerah di Indonesia, di antaranya Bandung, Yogyakarta, Malang, ternate, batam, karawang, makassar, surabaya, minahasa, manado, kendiri, semarang, pontianak, palu dan daerah lainnya. Aksi Kamisan merupakan payung perlawanan terhadap impunitas dan penegakan HAM di Indonesia. Tiap Kamis, selalu terdengar teriakan-teriakan di depan Istana Presiden dengan menggunakan payung hitam dan kaos hitam.


Hidup korban. Jangan diam! Jangan diam. Lawan!


Teriakan tersebut merupakan semangat yang disampaikan oleh bapak dan ibu korban pelanggaran HAM masa lalu dan para aktivis kemanusiaan. Itu juga menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang menindas dan tak tegaknya hukum. Hingga kini, sudah dilangsungkan Aksi Kamisan yang ke 17 tahun. Artinya, sudah 17 tahun Sumarsi, Suciwati, dan korban lain masih tegak berdiri di depan Istana Presiden, Jakarta Pusat. Itu membuktikan betapa kuatnya kaki para korban untuk selalu berdiri demi menegakkan HAM.


Aksi kamisan memberi kita kekuatan ingatan, sehingga menjadi orang yang tidak gampang pelupa atas pelanggaran HAM dan para korban kemanusiaan. Barisan solidaritas yang kokoh berdiri menentang para pelaku kejahatan selalu dilakukan setiap kamis, sebab mendiamkan adalah bentuk dari penghianatan.


Namun, keberpihakan penegak hukum sangat lemah, sehingga keperpihakan pada ketidakadilan di negeri ini sangat minim, nyaris tidak kita temukan para penegak hukum yang tidak melengceng dari prinsip-prinsip hukum itu sendiri.


Penegakan hukum yang seharusnya memegang teguh pilar-pilar hukum, ternyata bisa di obrak abrik oleh kekuasaan. Sehingga hukum dijadikan payung oleh kelompok bermodal, padahal esensi hukum adalah kesetaraan dan tidak tebang pilih. Kini, ada anekdot, “Anda punya uang, Anda dapat keadilan”. Begitulah kira-kira penegak hukum kita.


Dari kasus-kasus pelanggaran HAM masalalu, kanjuruhan, klitih, atau pun perampasan hak warga sipil. seperti, petani pakel, sagea, wadas, kaliprogo dan lain sebagainya. Semua itu tidak mendapatkan keadilan dalam penegakan hukum. Tidak ada yang bisa diharapkan dari penegakan hukum kalau masih berselingkuh dengan penguasa dan pemodal.


Negara indonesia adalah negara pancasila yang katanya, ternyata keadilan dan kemanfaatan dalam hukum masih jauh dari masyarakat sipil. Kalau hukum masih bisa di kendalikan oleh para penguasa dan pemodal, maka kepercayaan masyarakat pada hukum mau pun kepada para penegak hukum akan mulai terkikis dengan sendirinya. Kalau penegak hukum ingin dipercayai oleh masyarakat iya harus menegakan hukum tanpa tebang pilih iya kaya ataupun miskin, iya berkuasa atau tidak berkuasa.


Hukum harus ditegakan untuk kesejahteraan untuk selurumasyarakat, dan hukum juga harus memihak pada korban. Sehingga negara yang dibentuk dalam pemerintahan demokratis yang menegaskan bahwa negara yang bertanggung jawab terhadap terhadap kesejahteraan rakyat, keamanan, bahkan pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar tidak ada rakyat yang kelaparan dan menderita.


Sepanjang pergantian presiden. Semenjak penghilangan paksa yang dilakukan orde baru, indonesia menjadi negara terburuk dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Tidak ada presiden yang berani menuntaskan kasus pelanggaran HAM masalalu, mereka hanya berani berkoar-koar dalam masa kampanye saja berbicara penuntasan pelanggaran HAM masalalu, setelah dipilih mereka akan pura-pura lupa atas apa yang mereka janjikan pada keluarga korban dan seluruh rakyat.

Iklan