Sumber: Dikbud NTB (Istimewa)
Penulis : H. Khaerul Anwar (Penulis dan Budayawan)
Kalau
ada kegiatan kokurikuler yang paling ditunggu-tunggu siswa, jawabannya adalah
‘Sabtu Budaya’ (SB), yang digelar tiap sekolah dari Sekolah Dasar hingga
SMAN/SMKN di Nusa Tenggara Barat. SB yang dilaksanakan saban hari Sabtu, adalah
bentuk pembelajaran berbasis budaya, dengan pendekatan enjoyfull learning yang bermuatan menyenangkan, mengasyikkan dan
menghasilkan (3 M), yang tujuan pentingnya pada penguatan watak dan karakter
peserta didik.
Kami
berterima kasih, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB, punya program ‘Sabtu
Budaya’, sehingga kami para guru termotivasi bekerja, terbuka ruang lebih luas
untuk memacu anak jadi kreatif dan inovatif dalam proses pembelajarannya,” ujar
Muhtar, Kepala SMAN 2 Wawo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, seusai
keduanya mempresentasikan program kerja dalam acara Evaluasi Kinerja para
Kepsek SMAN dan SMKN se-Pulau Sumbawa, hari Kamis (12/10/2023), di Kantor Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan NTB, Mataram, Lombok.
Untuk
mencapai ‘3 M’ tadi, dalam kegiatan SB, menurut Eva Patriani, Kepsek SMAN 3
Dompu, dimulai dari hal sederhana seperti mengajarkan tata krama berkomunikasi kepada
siswanya. “Kalau lagi jalan di gang, ada orang duduk, jangan ngasal, tetapi bungkukkan badan, ucapkan
santabe (permisi), atau kalembo
ade (salah satu artinya ‘mohon maaf’-red)”. Kesopansantunan untuk
menghormati orang lain seperti itu cenderung terkikis dalam perikehidupan saat
ini.
Hal
senada dikatakan Adirmawan, Kepala SMKN I Buer, Kabupaten Sumbawa. Kepada anak
didiknya ditanamkan toleransi dan solidaritas antarsesama. “Kami punya program
Sapa Semaut, sarapan bersama tiap hari Sabtu,” katanya. Siswa masing-masing
membawa bekal makan pagi. Saat itu siswa biasanya melihat menu sarapan
temannya. Jika siswa A, misalnya, yang tidak punya lauk, maka siswa B –yang
lebih lengkap menu sarapannya- membagi lauknya kepada siswa A tadi.
Sementara
di SMAN 1 Monta, Bima, digelar program ‘bel-in’, yaitu bersih ruang kelas lima
sebelum belajar yang diberlakukan kepada siswa. Terhadap para diharuskan
membaca buku (apa saja) sebelum mengajar
yang disebut ‘bal in’. Hal itu ditempuh agar siswa terbiasa membaca buku, dan
guru punya inisiatif dan kreatif untuk memperkaya materi ajar-nya.
Sedang
pihak SMAN 2 Wera, Bima, menekankan disiplin kepada para guru dan siswanya.
Caranya, siswa diwajibkan mengumpulkan sampah yang berceceran di area sekolah,
kemudian para guru bergiliran menyambut siswa di pintu gerbang sekolah. Bagi
siswa yang pertama tiba di sekolah diumumkan saat apel. Kemudian pihak SMAN 2
Taliwang, Sumbawa Barat, para siswa diajarkan memelihara lingkungan dengan cara
menanam bibit pohon, juga untuk pemertahanan bahasa, publikasi maupun iklan untuk
sekolah harus disertai kata bahasa daerah, umpamanya ‘sila mo’ (silahkan).
Kecuali aktivitas yang serius, seperti
dikatakan para kepala sekolah umumnya, SB juga menjadi semacam perhelatan unjuk
keteremapilan antarsiswa yang bernuansa hiburan. Sebutlah lomba bikin olahan
kuliner, karya lukisan dan produk kerajinan terbuat dari limbah plastik botol
dan gelas bekas wadah air mineral. Hasil kreativitas mereka dipamerkan di
halaman sekolah atau pun di dalam kelas, dengan tujuan mendapatkan apresisasi
sekaligus meningatkan rasa percaya diri bagi para siswa.
Serunya
lagi, ketika para siswa yang berlenggang-lenggok dalam acara peragaan busana,
pentas seni tari dan pantonim. Kemudian kegiatan senam aerobik yang
dikombinasikan dengan Zumba, yang memadukan gerakan tarian moderen dan gerakan
menantang lainnya. Mereka seakan berdansa mengikuti irama lagu genre musik
reggae.
Keseruan
kian terasa, dalam lomba lari karung. Adu lari ini mengundang riuh sorak para
siswa melihat aksi tiap pelari berlomba menjadi orang pertama mencapai garis
finish. Ada ‘pemandu sorak’ atau supporter dari para siswa terhadap sesama
rekan sekelas yang ikut bertanding.
Begitu
pun peserta lomba uji kelihaian memasukkan paku dalam botol kaca, tak kalah hebohnya.
Pasalnya, setelah paku diikat tali, dililitkan pada pinggang bagian belakang, peserta
– layaknya sedang ‘BAB’, dengan bokong
yang meliuk-liuk, berusaha memposisikan paku agar pas nyemplung ke lubang
botol.
Semua
larut dalam suasana gembira, rileks, terhibur seakan tengah melepas semua beban
setelah menghadapi rutinitas yang ‘itu-itu saja’ dalam proses belajar-mengajar
tiap. Tampaknya disinilah konsep enjoyfull
learning yang bersumber dari yang ‘kecil-kecil’ menemukan jawabannya. Atmosfir
lingkungan dan kondisi psikologi siswa masuk metode fun learning yang terbingkai program SB. Ya SB mungkin barulah
setitik harapan menuju perubahan transformasi pendidikan, yang dengan pendekatan kontekstual dan ‘membumi’, malah menjadi
lebih bermakna dalam proses pembelajaran… selamat… (erul arantiang)