"02 Curang" Katanya;Benarkah..!

"02 Curang" Katanya;Benarkah..!
Ketua LTN PW NU NTB, Suaeb Qury.



Oleh : SUAEB QURY

Ketua LTN PW NU NTB 


Mataram-Beritantb.com. Ini adalah kali ketiga dari Pilpres di Indonesia dimana satu kubu paslon meneriakan “Curang” ke kubu paslon lain. Sebelum Pilpres 2014 atau di Pilpres 2004 dan di Pilpres 2009 rasanya kata “curang” tidak terdengar sedikit pun. Padalah di Pilpres 2004 yang diperebutkan adalah Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. Posisi Megawati adalah petahan, tapi pada angka perolehan suara dia kalah telak dari SBY. Pun di Pilpres 2009, Kembali Megawati maju menjadi capres penantang capres petahan. Dan lagi-lagi Megawati kalak telak. Adakah teriakan curang saat itu? Tidak ada! Yang ada sakit hati Megawati terhadap SBY yang terus membara…


Kata curang baru muncul di Pilpres 2014. Saat itu yang bertarung adalah Prabowo Subianto, yang pernah menjadi cawapres Megawati di Pilpres 2009, berhadapan dengan Joko Widodo atau Jokowi. Pada tanggal 22 Juli 2014, hari pengumuman hasil resmi oleh KPU, Prabowo menyatakan menarik diri dari proses pemilihan umum setelah sebelumnya menyatakan kemenangannya sejak hasil hitung cepat dirilis. Ia mengatakan bahwa rakyat Indonesia "kehilangan hak-hak demokrasi" karena "telah terjadi keadaan masif dan sistematis"!. Angka perolehan suara menunjukkan perbedaan yang tidak begitu besar, yakni 53,15% untuk pasangan Jokowi Widodo dan Jussuf Kala, dan 46,85% untuk pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.

Tuduhan kubu Jokowi telah mencatat angka perolehan suara dari Prabowo Subianto secara terstruktur, sistimatis, dan masif tak hanya dilontarkan dalam bentuk omongan doang. Kubu Prabowo menyikapinya dengan menggugat KPU ke Mahkamah Konstitusi. Saksi, bukti dan para ahli hukum dihadirkan dalam konferensi, namun pada akhirnya semua yang dihadirkan dan dikemukakan oleh buku Prabowo di konferensi tidak cukup membuktikan tuduhan adanya penipuan TSM yang dilakukan oleh Kubu Jokowi.

Saat itu, di Pilpres 2014, Kubu Jokowi diusung oleh PDI-P, Nasdem, Hanura, PKPI dan PKB. Sementara kubu Prabowo diusung oleh Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP, PBB dan Partai Demokrat. Tentu saja hanya KPU yang menyiapkan bukti, saksi dan para ahli untuk mematahkan tuduhan, pihak Kubu Jokowi pun melakukan hal yang sama.


Pada Pilpres 2019, hal serupa juga terjadi. Lagi-lagi, Kubu Prabowo menggugat PKU dan Jokowi menjadi pihak yang ikut tergugat. Namun lain-lain proses konferensi di MK atas kejadian yang TSM ini tidak sealot gugatan pasca Pilpres 2014. Apalagi perbedaan perolehan suara di Pilpres 2019 cukup jauh yaitu 55,5% untuk Jokowi dan 44,5% untuk Prabowo. Akhirnya Prabowo menyatakan dirinya mundur dari Ajang Pilpres dan menempatkan kelompoknya sebagai oposisi dari pemerintahan Jokowi.


Hari ini,  roda benar-benar berputar. Kubu Ganjar-Mahfud, yang diusung oleh partai yang hampir sama yang dulu mengusung Jokowi 2 kali Pilpres, terdapat adanya kejadian secara TSM yang dilakukan oleh Kubu Prabowo-Gibran.

Ini terlihat lucu. Alih-alih Kubu Ganjar dan Mahfud melaporkan dan/atau mengajukan gugatan pada Mahkamah Konstitusi, mereka lebih memilih untuk melakukan propaganda-propaganda seperti yang kita lihat di media-media sosial. Padahal, dilapangannya, keadaan itu dilakukan oleh semua kubu di TPS-TPS. Semua pendukung setiap kubu memiliki trik dan intrik sendiri untuk berbuat curang di TPS. Dengan kata lain, pendukung ketiga paslon melakukan keadaan. Saya sendiri melihat dan merasakan menjadi objek dari keadaan di TPS tempat saya nyoblos. Pun kawan-kawan saya yang lain, apalagi pas melihat mbah-mbah sepuh yang pas mau nyoblos didampingi oleh petugas. Kita jadi cekikikan…


Kecurangan semacam itu kecil dan jika terjadi di semua TPS ya menjadi besar juga. Namun hal itu tak perlu diributkan karena semua pendukung paslon sama-sama bermain. Ibaratnya sampai hari pencoblosanpun, kampanye senyap tetap dilakukan oleh simpatisan dan pendukung, tanpa komando pula, hanya berdasarkan kecintaan.


Pengalaman dua kali menghadapi gugatan di MK di Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 sedianya menjadi pelajaran dasar untuk melakukan gugatan yang sama atas kondisi yang disampaikan. Bukan malah mengeruhkan udara yang sedianya harus dijaga tetap tenang.


Menjadi sulit dicerna oleh logika ketika di satu sisi Kubu Ganjar berteriak kencang ada suasana, di sisi lain angka perolehan suara Ganjar-Mahfud begitu jomplang dari Prabowo Gibran. Sementara kita semua tahu kalau yang membunuh elektabilitas ganjar adalah pidato-pidato Megawati yang disasarkan pada Jokowi jauh sebelum Pilpres 2024 berlangsung.

Pada dasarnya, Negara Indonesia telah menyediakan aturan dan mekanisme hukum jika terjadi suatu atau beberapa buah pelanggaran, pelanggaran dan gangguan di ajang Pilpres. Tinggal dilaporkan atau diajukan gugatan tanpa harus berteriak-teriak. Karena sebuah teriakan keras telah terjadi dan ternyata tidak dilaporkan atau digugat, maka tuduhan itu berubah menjadi sebuah fitnah. Disebut fitnah itu karena tidak ada bukti atas tuduhan atau hanya mengarang bebas saja. Seperti yang selalu saya tuliskan, seribu pelanggaran dan kejahatan yang tidak pernah dilaporkan, maka pelanggaran itu akan menjadi kebiasaan dan kejahatan akan menjadi kelumrahan.


Manusia dewasa akan lebih mengedepankan langkah taktis yang bijak dan tidak berteriak-teriak seperti anak-anak. Angka kemenangan Prabowo-Gibran yang jauh di luar ekspektasi melebihi 50% + 1% bukti bahwa suara yang diperoleh bukan karena kondisi tetapi karena panggilan keinginan dan keyakinan pemilih bahwa Pembangunan yang berkelanjutan menjanjikan kemajuan yang signifikan. Generasi muda sudah bosan politik melihatus Angkatan tua berpuluh-puluh tahun mengatur negara. Mereka lebih memilih untuk mengetuk negara pada suatu kondisi berbahaya dengan memilih sesama anak muda untuk mencoba mengatur negara.

Iklan