Cerita Buruh Di Kota Bima, 20 Tahun Bekerja Tapi Tidak Punya Jaminan Sosial. |
Kota Bima- Februari 2024, genap 20 tahun Yogi bekerja di perusahaan air minum kemasan di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Pria berusia 47 tahun tersebut bekerja pada bagian pendistribusian air dalam bentuk kemasan galon.
Dalam sehari Yogi harus keliling membawa 200 galon air ke sejumlah pelanggannya di lima kecamatan di Kota Bima
Yogi mengaku sudah diangkat pihak perusahaan sebagai karyawan tetap.
Meski begitu, tidak ada sistem penggajian tetap yang diterimanya. Pendapatan bulanan diambil dari keuntungan hasil penjualan air ke pelanggan.
"Dari perusahaan harganya Rp 7.000 per galon, kami jual ke pelanggan Rp 9.000. Keuntungan Rp 2.000 per galon itu langsung jadi penghasilan," kata Yogi, Senin (5/2/2024),
Yogi merupakan warga Kampung Bara di Kelurahan Paruga, Kecamatan Rasanae Barat, Kota Bima.
Menurutnya, meski keuntungan yang diambil dari hasil penjualan hanya Rp 2.000 per galon, tetapi jika diakumulasi pendapatannya per bulan bisa melebihi besaran upah minimum Kota Bima.
Dalam sehari Yogi bisa mendapat penghasilan Rp 400.000 bila 200 galon air yang dibawanya laku terjual semua. Sementara untuk sebulan dengan waktu kerja hanya lima hari dalam sepekan, maka rata-rata pendapatannya mencapai Rp 8 juta sampai Rp 9 juta.
Sebulan itu bersihnya bisa sampai Rp 9 juta, tapi ada kalanya tidak laku semua air yang kita bawa ini," ujarnya
Yogi mengatakan, pendapatannya per bulan memang terbilang tinggi, tetapi hal ini disebut sebanding dengan pengeluaran untuk kebutuhan keluarganya.
Dalam sebulan saja, Yogi harus mengeluarkan Rp 3 juta untuk memenuhi kebutuhan dapur istri dan tiga orang anaknya. Selain itu ia harus membiayai sekolah anak-anaknya yang kini duduk di bangku SMP dan SMA.
"Belum lagi keperluan lain-lain. Jadi walaupun besar gajinya cukup buat makan dan kebutuhan sehari-hari saja, untuk nabung itu tidak ada," jelas dia.
Sebelum bekerja di perusahaan air minum kemasan, Yogi mengaku pernah bekerja di beberapa perusahaan di Kota Bima, tetapi dia memutuskan keluar lantaran pendapatannya tak mampu menutupi biaya hidup keluarganya. Meski demikian, Yogi mengeluhkan perusahaan tempatnya bekerja sampai saat ini tak memberi jaminan sosial berupa BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan
"Di sini hanya tidak ada BPJS ketenagakerjaan dan Kesehatan. Kalau sakit berobat pakai biaya sendiri walaupun saya sudah karyawan tetap," ungkapnya.
Jika Yogi bisa memperoleh pendapatan sampai Rp 9 juta per bulan, berbeda halnya dengan Nisa, warga Kelurahan Dodu, Kecamatan Rasanae Timur, Kota Bima. Nisa juga bekerja sebagai karyawan di pabrik air minum kemasan yang berlokasi di Kelurahan Dodu.
Selama tiga tahun bekerja dibagian pengemasan, Nisa hanya menerima gaji Rp 1,7 juta per bulan dengan jam kerja mulai pukul 07.30 Wita sampai pukul 15.00 Wita.
"Lewat dari pukul 15.00 Wita langsung dihitung lembur, gaji lembur kita di bawah Rp 50.000 per jam," kata Nisa, Senin (5/2/2024).
Nisa mengungkapkan, besaran gaji yang diterima itu memang di bawah UMK Kota Bima. Namun pihaknya tak bisa mengajukan keberatan karena sudah menjadi kesepakatan awal dengan pihak perusahaan. Selain gaji Rp 1,7 juta per bulan, perempuan yang belum berkeluarga itu juga menerima jaminan sosial berupa BPJS Kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan.
"Lebaran juga tetap dapat THR, besarannya itu satu kali gaji. Gaji Rp1,7 juta memang di bawah UMK tapi itu sudah jadi kesepakatan dari awal," jelasnya.
Berbeda halnya dengan Hamzah (32), buruh angkut dari Lingkungan Niu, Kelurahan Dara, Kecamatan Rasanae Barat, Kota Bima.
Hamzah kini kehilangan mata pencaharian, sebab gudang penyimpanan garam tempatnya mencari nafkah telah berhenti beroperasi sejak awal Januari 2024.
"Stok garam di gudang masih banyak, cuma tidak ada pengiriman keluar daerah. Kita yang bekerja di sana terpaksa harus menganggur," kata Hamzah, Senin (5/2/2024).
Hamzah mengungkapkan, menjadi buruh angkut di gudang penyimpanan garam adalah sumber mata pencaharian utamanya untuk memenuhi kebutuhan hidup istri dan buah hatinya yang baru berusia enam bulan.
Namun karena gudang berhenti beroperasi, ia harus berjuang mencari sumber penghasilan lain, salah satunya menjadi buruh bangunan dan terkadang digaji untuk memupuk tanaman jagung warga setempat.
Dari pekerjaan serabutan ini, Hamzah mengaku bisa membawa pulang uang Rp 100.000 sampai Rp 150.000 per hari.
"Dulu ketika gudang garam ini berhenti kita bisa beralih ke gudang jagung, tapi sekarang belum masa panen jadi gudang jagung juga tidak beroperasi," ujarnya.
Hamzah mengatakan, sudah cukup lama menjadi buruh angkut di gudang penyimpanan garam. Meski gajinya hanya berkisar Rp 100.000 sampai Rp 200.000 per hari, namun pendapatan tersebut dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
"Besaran gaji tergantung banyak garam yang kita angkut ke mobil truk, sehari paling rendah kita itu dapat gaji dari Rp 100.000," ungkapnya.