![]() |
Dr. Alfisahrin, M.Si (Antropolog) |
Oleh : Dr. Alfisahrin, M.Si (Antropolog)
Wadir IV Politeknik MFH dan Staf Pengajar di Fisip dan Ilmu Komunikasi Upatma Mataram.
Krisis Ekologi dan Bahaya Banjir di Bima.
Mencermati situasi kritis dan permasalahan darurat banjir yang terjadi di Kabupaten dan Kota Bima, tentu saja membuat hati siapapun miris melihatnya karena ketenangan, keamanan dan kenyamanan hidup warga kabupaten dan Kota Bima dapat dikatakan sudah lama hilang. Sejak banjir bandang tahun 2016 dan banjir susulan yang terjadi berkali-kali membuat banyak warga Bima trauma, cemas dan takut bila musim hujan tiba. Siapa yang menduga banjir bandang tiba-tiba menerjang dan menyapu bersih harta benda dan memakan korban jiwa 8 orang meninggal di Nanga Wera Kecamatan Wera dan Ambalawi. Siapa yang patut disalahkan, alam, Tuhan ataukah manusia, Jawabannya bisa beragam alasan. Bisa politis karena matinya otoritas negara dalam menegakan aturan, bisa juga ekonomis, karena petani belum sejahtera, alam pun dieksploitasi, sialnya juga masyarakat kita enggan dengar kata-kata ilmuan dan alergi dinasehati. Tidak terhitung berapa banyak himbauan, surat edaran bahkan regulasi negara yang melarang perladangangan liar, pembabatan hutan dan mengalihfungsikan hutan tutupan negara menjadi lahan bertani.
Apa akibat dari kerusakan hutan yang parah terjadi tentu saja banjir terjadi dimana-mana. Nyaris tidak ada wilayah dan kawasan yang aman lagi untuk di huni sebagai Bumi Manusia meminjam istilah Pramuoedya Ananta Toer (1980) karena seluruh wilayah Bima tidak ada lagi yang aman dan bebas dari banjir.
Banjir sejatinya bukan soal semata petaka dan bencana ekologi dan kemanusiaan melainkan sebuah isyarat tanda dan penanda meminjam istilah Ferdinand De Saussure (2005) dari Tuhan dan alam tentang kerusakan serta krisis ekologi kronis yang tengah terjadi di Bima. Krisis ekologi dan banjir ini berkelindan, kompleks dan multidimensi meminjam istilah Frijtof Capra (1996). Variabel penyebabnya sangat beragam. Ada faktor budaya, pola bertani dan mode produksi masyarakat yang berubah, harga nilai komoditas yang tinggi dan penentrasi pasar ekonomi kapitalis yang mengantri ikut bermain di sektor pertanian. Bukan rahasia umum lagi bahwa alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian jagung yang intensif dan ekstensif dalam bahasa antropolog Clifford Geertz di Kabupaten dan Kota Bima. Menciptakan situasi dilematis karena bertani jagung bukan semata-mata pilihan petani melainkan program resmi pemerintah.
Namun, di sisi lain, aktivitas bertani jagung menjadi penyebab utama rusaknya hutan dan terjadinya banjir bandang di Kabupaten dan Kota Bima. Kerusakan akibat banjir yang merendam rumah warga, merusak fasilitas perkantoran, sekolah, jalan, jembatan, lahan pertanian termasuk hewan ternak. Apabila dihitung-hitung kerugiannya jauh lebih besar dibandingkan dengan profit bertani jagung apalagi dengan harga pasar dikisaran 3000/4000/kilo. Banjir hampir terjadi di mana-mana mengepung banyak desa dan kecamatan di Bima.
Banjir bukan semata-mata karena curah hujan yang tinggi melainkan karena parahnya kerusakan hutan yang tengah marak terjadi. Menurut saya, rasanya tidak perlu lagi penjelasan ahli ekologi dan teori canggih yang rumit untuk memahami sebab asal muasal terjadinya banjir parah yang melanda kota dan Kabupaten Bima. Orang awam pun sudah cukup mafhum bahwa banjir tahunan terjadi karena ulah, perilaku dan tindakan eksploitasi manusia yang berlebihan merusak alam. Sontak saja publik pun bertanya-tanya. Kemana raibnya peran dan otoritas bupati, DPRD, camat, kades, dan aparat penegak hukum di Kabupaten dan Kota Bima sehingga tega berdiam diri dan bungkam tidak berdaya dalam mencegah kerusakan hutan yang terjadi di depan mata mereka. Padahal, keberanian dan ketegasan pemerintah daerah Kabupaten Bima secara etik tengah dibutuhkan dan diuji oleh masyarakat dalam menegakan aturan. Bukan justru sibuk saling lempar tanggungjawab dan cuci tangan terkait kewenangan dengan Provinsi soal pengawasan hutan dan alih fungsi hutan yang terjadi. Solusi lebih dibutuhkan ketimbang permainan citra kekuasaan.
Matinya Pengetahuan dan Kearifan Lokal Maja Labo Dahu Dan Ngaha Aina Ngoho
Suku Bima atau Dou Mbojo dikenal sebagai petani dan peternak ulung serta pelaut handal. Orang Bima memiliki watak keras, pekerja ulet, sabar dan tahan banting. Kemampuan adaptasi orang Bima rata-rata sangat tinggi sebagai perantau sehingga banyak yang menuai sukses. Dou Mbojo juga terkenal karena kecendekiaan, fanatik beragama dan memiliki peradaban yang tinggi. Salah satu bukti kecerdasan mereka ditandai dengan adanya sejumlah pengetahuan lokal yang menjadi tata nilai budaya. Local knowledge ini mengatur pandangan kosmologik tentang alam, dan membentuk pola perlikau hidup yang beradab. Pengetahuan lokal tersebut, dinamakan ‘ Maja Labo Dahu’ artinya (Malu dan takut). Malu berbuat salah, malu berbuat dosa, malu berbohong, malu tidak jujur dan malu merusak alam semesta. Makna Maja Labo Dahu memiliki makna dan nilai yang sangat kompleks sebagai word view dan etika karena bersumber dari abstraksi ide dan nilai agama islam. Orang Bima sebagai sebuah entitas historis dan kultural yang kaya juga menciptakan semacam kearifan lokal yang embedded (membatin) yakni ‘ Ngaha Aina Ngoho ‘ (makan tetapi jangan berladang). Konsep ini menjadi spirit etik yang mengajarkan dan menuntun bagaimana ‘Manusia Bima’ mencari nafkah, mengolah dan mengelola alamnya dengan bijak tanpa merusaknya.
Ngaha Aina Ngoho berdimensi dan bermakna filosofis karena menjadi suatu mekanisme adaptif yang mengatur hubungan eko-geografis manusia Bima dengan lingkungan alamnya sekaligus berfungsi sebagai suatu kesadaran kognitif- budaya -meminjam istilah Antropolog Goodenough dalam menciptakan keseimbangan(ekuilibrium)ekosistem hidup. Ngaha Aina Ngoho telah ratusan tahun berfungsi sebagai penjaga keasrian, kelestarian, dan harmoni alam dan manusia di masa lalu. Sehingga menjadi legacy peradaban ‘Dou Mbojo‘.
Namun, kini keberadaan Maja Labo Dahu dan Ngaha Aina Ngoho telah kehilangan makna sakralitasnya. Esensinya seperti kehilangan konteks (discontinued) dan momentum di tengah krisis ekologi yang parah di kabupaten Bima. Modernitas mengubah watak, perilaku, paradigma dan orientasi manusia terhadap alam dan sumber daya yang ada di dalamnya. Sehingga pengetahuan lokal dan kearifan seperti Ngaha Aina Ngoho sebagai perangkat kebudayaan dan pedoman hidup. Oleh cara pandang modernitas yang logic dan trasnformatif dicampakan karena dinilai tidak relevan dan kontekstual dengan era pengelolaan hutan, pertanian, pemanfaatan SDA dan cara-cara hidup modern.
Dampaknya pasca kematian dari pengetahuan dan kearifan lokal manusia Bima, relasi mereka dengan alam tidak lagi hangat, mutualistic dan konstruktif melainkan beralih ekstraktif (menghisap), ekspansif (memperluas), dan eksploitatif. Diksi-diksi dan terminologi ini cukup familiar di telinga korporasi, akrab dengan cara pandang elite borjuis dan kerja-kerja kapitalisme modern.
Seiring waktu dan perkembangan manusia Bima yang kian maju serta modern nilai-nilai pengetahuan dan kearifan lokal Maja Labo Dahu dan Ngaha Aina Ngoho. Makin tersisih dan pudar karena terjadi disfungsi. Kerusakan ekologi dan Banjir parah yang terus terjadi merupakan suatu indikator matinya kearifan tersebut. Esensi dan kearifan budaya Dou Mbojo dalam menjaga kelestarian hutan sudah hilang. Akibat kita bebal, bandel dan acuh, mencampakan pengetahuan dan kearifan budaya. NTB kehilangan 190 ribu hektare hutan karena dialihfungsikan sebagai lahan jagung. Sehingga setiap tahun 200 hektare hutan di NTB hilang bahkan Walhi NTB mencatat, laju kerusakan hutan mencapai 60%. Sebenarnya tidak ada masalah dengan bertani jagung namun yang menjadi masalah ketika masuk kawasan hutan tutupan negara dan hutan konservasi. Pada konteks inilah negara wajib mengatur, menata, dan menegakan aturan kepada petani.
Sejumlah kawasan hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi di kabupaten dan Kota Bima sudah sukar dibedakan batas-batasnya karena telah dikuasai, dialih fungsikan dan dijadikan lahan-lahan pertanian jagung masyarakat. wilayah dan kawasan hutan semula milik negara kini berubah menjadi milik komunal. Negara seolah-olah tidak bertuan lagi, konstitusi negara terkesan mandul dan aturan tentang tata Kelola hutan hanya menjadi macan kertas tumpul dalam kenyataan. Tidak ada advokasi, sosialisasi serius dan supremasi hukum tegas atas pelaku perampasan dan perambahan hutan yang terjadi telanjang di depan mata. Akibat tekanan kebutuhan ekonomi yang makin kapitalistik, eksploitatif dan akumulatif menggerus fungsi kearifan dan pengetahuan lokal (local wisdom and knowledge) manusia Bima. Fungsi agama dan budaya pun, kini di Bima ikut raib dan mati terkubur oleh deru bisingnya suara mesin semprot pestisida danmesin panen jagung otomatis. Kontrol dan kendali terhadap komoditas jagung tidak lagi sepenuhnya ada di tangan petani, mulai soal bibit, harga, distribusi dan pembiayaan sudah diambil alih oleh spekulan dan kartel. Pemerintah daerah hanya menjadi regulator pasif, otoritasnya lemah dan kewenagannya sudah diambil alih sepenuhnya oleh pengusaha. Situasi yang benar-benar paradoksal, satu sisi banjir dipastikan terjadi karena maraknya perladangan liar, perambahan hutan dan alih fungsi lahan. Di sisi lain, negara telah kalah dalam menjaga otoritasnya.
Antropos atau manusia tidak lagi menggunakan rasio akal budi sebagai penuntun tindakan, mereka mencampakan kebudayaan sebagai etika dan pedoman perilaku dan meninggalkan keariifan lokal sebagai kompas nilai yang mengatur baik buruknya aktivitas manusia dengan alam. Nyaris semua tata nilai yang merupakan adat istiadat dan tradisi penghargaan terhadap alam semesta telah di dianggap usang dan basi. Mengapa ini terjadi, karena watak dan moralitas subsisten masyarakat petani Bima telah hilang meminjam istilah antropolog James Scott (1983). Subsisten artinya etos kerja dan orientasi petani yang mengambil sumber daya alam seperlunya hanya sekedar untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Petani-petani kecil yang disebut pesant oleh Erick Wolf jumlahnya sudah semakin sedikit karena telah digantikan oleh petani-petani besar yang disebut farmer yang menjadi agen dan penghubung gudang-gudang besar milik korporasi kapitalis di pulau Sumbawa dan Lombok.
Masyarakat Bima sebagai Masyarakat Beresiko
Saat ini dengan sejumlah parameter masyarakat Bima konteksnya bukan lagi masyarakat tradisional pra industri yang mengandalkan hidup hanya dari alam sekitar melainkan masyarakat modern yang tengah hidup berdampingan dengan industri dan teknologi. Oleh Urlich Beck(1944) masyarakat modern digambarkan sebagai “masyarakat risiko”. Salah satu cirinya ditandai dengan tinggi dan efektifnya penggunaan rasio, pengetahuan dan teknologi sebagai pilar penopang aktivitas ekonomi, sosial dan budaya. Intisari dan spektrum Kehidupan masyarakat modern bukan lagi melulu persoalan memproduksi kemakmuran, mendistribusi kesejahteraan dan apa yang dikonsumsi. Kehidupan masyarakat modern diatur oleh sistem ekonomi dan politik yang terhubung langsung dengan unit-unit produksi kapitalis seperti industri hiburan, fashion, kosmetik dan media massa. Semua fantasi kehidupan Makmur dan sejahtera telah menjadi cita dan orientasi yang mengubah watak masyarakat tradisional Bima yang kosmosentris yakni taat,tunduk dan respek terhadap alam karena industrialisasi jagung seketika beralih menjadi masyarakat industri modern yang bengis, rakus dan ekstraktif pada alam. Pertanian jagung yang sangat masif di Kabupaten Biima merupakan pintu awal yang membuka kerusakan ekosistem dan bencana ekologi, Tidak adanya pembatasan alih fungsi lahan jagung di kabupaten Bima sejujurnya kita telah menginvestasikan dua hal besar beresiko. Pertama, keuntungan ekonomi dan kesejahteraan petani. di sisi lain, kerusakan ekologi parah dan tidak terkendali.
Kecenderungan masyarakat Bima bertani jagung tidak lepas dari indikator ekonomi seperti harga yang tinggi, hemat air, mudah dirawat dan dipanen. Akan tetapi masyarakat lupa bahwa kemudahan-kemudahan yang diperoleh dari bertani jagung tidak dibarengi dengan pengetahuan yang memadai, kesadaran etik akan resiko ekologi, kerusakan hutan dan kerugian materi yang harus ditanggung ketika banjir di musim hujan. Alih fungsi lahan yang terjadi besar-besaran untuk jagung di 18 kecamatan dan 191 desa di kabupaten Bima bukan semata transformasi eko-geografis melainkan terjadi perubahan dan peralihan fundamental sendi budaya bertani subsisten meminjam istilah James Scott yakni aktivitas bertani mikro dengan corak tradisional dan ramah lingkungan ke mode produksi kapitalis masyarakat modern. Agar tiba dan setara dengan pola pertanian dan gaya hidup kosmopolitanisme modern masyarakat Bima kelihatan tidak lagi mau bertahan pada pola dan sistem pertanian subsisten karena sudah dianggap kuno. Petani-petani di Bima, kini berlomba-lomba menjadi farmer yakni petani modern dengan modal besar dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan pasar modern yang ditopang oleh beroperasinya sejumlah lembaga keuangan modern, industri pupuk, pestisida dan bibit milik kaum kapitalis. Salah satu kontradiksi tersebut adalah kenyataan masyarakat risiko menurut Urlich Beck adalah masyarakat yang mengabaikan otoritas ilmu pengetahuan.
Saya kira pemerintah, tokoh masyarakat, ilmuan bahkan publik telah mengingatkan kepada masyarakat petani di kabupaten Bima akan bahaya dan resiko ekologi merusak hutan namun banyak yang apatis, abai bahkan sengaja menutup mata terhadap kebenaran otoritas ilmu pengetahuan dan kewenangan negara. Hilangnya kredibilitas dan otoritas sains untuk menyatakan apa risiko dari tindakan-tindakan ekspansif dan eksploitatif yang terjadi pada masyarakat modern adalah salah satu tesis utama Beck: "Ketika sampai pada pendefinisian risiko dan bencana, sains akan kehilangan monopoli rasionalitas". Dengan kata lain, ketika sudah terjadi bencana dan bahaya menimpa yang tidak bersalah pun harus Bersama ikut menanggung resiko. Ini yang tengah dan sering kali terjadi, masyarakat kabupaten yang bertani dan merusak hutan namun masyarakat kota Bima yang harus ikut menderita terkena banjir, luapan lumpur dan kerugian materi. Beck, dengan apik menggambarkan masyarakat berisiko ini dan menjelaskan berbagai macam konsukensi yang hadir dalam masyarakat berisiko. Corak, kultur, dan struktur geografi masyarakat Bima memang tidak jauh-jauh dari bertani dan beternak sebagai aktivitas pokok namun kini bertani telah menjadi pilihan utama dan dominan karena dinilai lebih memiliki prospek.
Namun, aktifitas bertani telah menjadi penyumbang banyak kerusakan dan kerugian selain keuntungan yang diperoleh. Konsukensi dari bertani tanpa kendali, tanpa berhitung resiko dan kalkulasi kerugian ekologi yang harus ditanggung menjadi salah satu faktor yang menyebabkan dari tahun ke tahun dampak banjir makin luas dan kerugian materi yang dialami makin besar jumlahnya. Daerah dan kawasan yang sebelumnya steril tidak pernah banjir seperti di Donggo dan Sampungu Soromandi namun tahun ini justru dilanda banjir besar yang meluap hingga dijantung pemukiman masyarakat. Fenomena ini dihasilkan dari kurangnya perhitungan dan interpretasi cermat manusia akan risiko dari merusak hutan. Sementara di sisi lain, otoritas politik penguasa lokal Bupati, camat, kepala desa dan dusun cenderung gagap dan ciut nyali ketika berhadapan dengan aktivitas destruktif perambahan hutan yang dilakukan masyarakat di depan mata mereka.
Kehidupan masyarakat risiko menurut Beck menjadi sebuah peradaban yang tidak stabil. Bukan hanya itu saja, beck juga menjelaskan bahwa bencana banjir dan kerugian yang diakibatnya setiap tahun di Bima harus menghadirkan kesadaran reflektif, spritiual, dan etik ekologis untuk menghormati dan menghargai alam sebagai sahabat,teman dan ibu yang selalu memberi apa yang dibutuhkan manusia.
Menurut saya, apa yang dikatakan Ulrich Beck tentang masyarakat berisiko yaitu bentuk masyarakat yang tidak hanya disibukan oleh masalah kelangkaan sumber daya dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi tetapi juga masalah risiko yang dihadapi dari tindakan ekstraktif yang diambil. ini menjelaskan secara gamblang, bahwa dalam amsyarakat beresiko tidak lagi terbatas hanya pada bencana alam, melainkan juga perubahan iklim, bencana nuklir, dan rekayasa genetika dalam sains yang dapat memicu terjadinya resiko-resiko bencana dan tragedi kemanusiaan yang tragis.