![]() |
Foto: Tim melakukan pencarian korban banjir di kecamatan Wera Kabupaten Bima |
Mataram,(Beritantb.com) - Dapil 6 yang terdiri dari Kabupaten Dompu, Kabupaten Bima, dan Kota Bima, hampir tiap tahunnya menjadi sasaran banjir. Terakhir pada Minggu tanggal 2 Februari 2025, banjir bandang disertai tanah longsor melanda Kecamatan Wera dan Ambalawi, Kabupaten Bima, disebabkan curah hujan yang tinggi.
Banjir dan tanah longsor telah merusak fasilitas umum, serta 12 unit rumah warga lokal. Selain itu, bencana tersebut juga telah menelan korban jiwa. Berdasarkan laporan pusat pengendalian operasi penanggulangan bencana (Pusdalops), sebanyak tujuh korban terseret banjir.
Ditemui, Senin (03/02/2025), Anggota DPRD NTB Fraksi Partai Bulan Bintang (PBB), Nadirah, SE., mengaku prihatin dan berbela sungkawa atas bencana tersebut.
Menurutnya, luas wilayah hutan yang kian berkurang akibat dialih fungsikan menjadi ladang jagung, menjadi salah satu pemicu terjadinya bencana banjir dan longsor.
"Bisa dibilang ini sudah kebablasan. Pas musim penanaman jagung kelihatan hijau. Selesai (musimnya) itu, kering kerontang," sesal Srikandi PBB yang saat ini berkantor diruangan Komisi V.
Ia tidak menyangkal, jika membahas ladang jagung di kawasan hutan, sangat rentan dengan kebutuhan masyarakat di dapil tersebut. Ia pun mendesak agar pemerintah daerah melakukan pengklasifikasian lahan, sehingga bisa dibedakan yang mana zona hutan yang dimanfaatkan untuk ladang, dan mana zona khusus hutan lindung.
"Harus ada pembagian zona wilayah. Mana yang cocok untuk disulap jadi ladang jagung, mana zona kawasan hutan lindung. Jangan semua dibabat," terangnya.
Ia pun mendorong agar Pemprov NTB dan DPRD NTB untuk bersinergi, khususnya dalam perumusan regulasi daerah yang dapat dijadikan landasan untuk melindungi dan melestarikan kawasan hutan.
"Memang saat ini kewenangan tentang perlindungan hutan ada ditangan OPD provinsi. Dengan kepemimpinan yang baru, Iqbal dan Dinda, kabupaten, kota, dan provinsi, bisa saling berkesinambungan," jelasnya.
Senada disampaikan Anggota DPRD NTB dari Fraksi Partai Gerindra, Yasin, M.M.Inov. ia menambahkan, regulasi lama khususnya yang berkaitan dengan kewenangan dalam hal pengawasan dan pengendalian kawasan hutan, telah dikembalikan ke pemerintah Provinsi.
Hal ini menurutnya, seringkali menjadi kendala pemerintah di kabupaten kota untuk melakukan pengawasan terhadap kawasan hutan secara maksimal. Sehingga dibutuhkan koordinasi yang intens di lintas sektoral, agar pengawasan hutan dapat dilaksanakan secara kolektif.
"Harus dievaluasi. Mungkin dalam pemerintahan yang baru nanti, kita akan ajukan postur regulasi baru yang mengatur kewenangan di kabupaten kota," imbuhnya.
Sebaliknya, dewan akan melakukan evaluasi terhadap program-program pemanfaatan hutan serta kelompok-kelompok tani yang sudah terbentuk sebelumnya. Jika memang memungkinkan, maka dewan akan menekankan pemerintah daerah agar melakukan reboisasi dan menerapkan sistem tanam tumpang sari.
"Kalau tumpang sari, pohon-pohon tetap terawat tanpa mengganggu upaya peningkatan ekonomi kerakyatan," sarannya.
Kendati demikian, hal tersebut tidak akan berhasil apabila tidak disertai upaya edukasi di lapangan. Karenanya ia mendorong agar OPD terkait lebih meningkatkan sosialisasi masyarakat, khususnya ke kelompok-kelompok tani di kawasan hutan, dalam rangka meningkatkan kesadaran terhadap dampak buruk pembabatan liar.(Red)