![]() |
Foto Ilustrasi |
Mataram,(Beritantb.com) - Namanya Baiq Rumita. Seorang putri Sasak yang tak pernah menghiasi halaman surat kabar Hindia Belanda. Tetapi perannya tidak kalah gemilang dari R.A. Kartini.
Lahir sebagai anak kepala distrik di Rarang tak membuat Baiq Rumita bebas dari kungkungan budaya yang mengebiri hak perempuan. Dia buta huruf—bukan karena malas, tetapi karena zaman memang memperlakukan perempuan seperti itu. Bahkan untuk sekedar keluar rumah saja dianggap aib.
Siapa kira kira ayah beliau yang menjabat sebagai Kepala Distrik Rarang?
Namun takdir mempertemukannya dengan seorang bangsawan Jawa—dr. R. Sujono yang kemudian menjadi suaminya. Dari suaminya, dia belajar membaca, menulis, dan bahkan menguasai bahasa Belanda.
Sejarah mencatat, hingga awal abad ke-20, wanita di Nusa Tenggara Barat—terutama di Lombok—sering dianggap sebagai pelengkap di rumah saja. Sekolah? Jika beruntung, itupun hanya sampai kelas tiga. Di masa itu tradisi lebih sakral daripada ilmu. Perempuan yang muncul di ruang publik dianggap aib. Semua dicekam ketakutan: seolah takut pada perempuan cerdas, takut pada perubahan.
Pemerintah kolonial Belanda mencoba mendobrak tradisi itu dengan membangun Meisjesschool di Bima pada tahun 1921. Tetapi hasilnya nihil, tradisi masih lebih keras daripada kepala kolonial.
Di Lombok, muncul Baiq Rumita. Dia bukan seorang aktivis, bukan pula tokoh politik, dia hanya istri seorang dokter yang bertekad melawan kebodohan berbalut adat. Dari suaminya dia belajar cepat, menyerap lebih cepat. Tidak hanya pandai membaca dan menulis, tetapi juga fasih berbahasa Belanda.
Pemindahan dr. Sujono ke Madiun, Jawa Timur, membuka gerbang baru bagi Baiq Rumita. Dia bergaul dengan para istri priyayi dan pejabat kolonial. Dia belajar renang dan senam. Pada tahun 1937, dia menjadi juara renang se pulau Jawa. Bukan karena haus medali, tapi karena ingin membuktikan: perempuan bisa.
Kesuksesannya membalik pandangan masyarakat Lombok. Ketika kembali ke Lombok, dia mengumpulkan anak-anak perempuan untuk disekolahkan. Dari tangannya, lahir pelopor gerakan perempuan, seperti Nyonya Salamah Sahalt dan Nyonya Salamah Suyatim—tokoh Aisyiyah yang mewarisi bara semangat juang Baiq Rumita.
Setelah dr. Sujono wafat, Baiq Rumita tak tenggelam dalam duka. Dia menetap di Tetebatu, di sebuah pesanggrahan yang menjadi cikal bakal bermunculannya hotel di Tetebatu dan sekaligus penggerak berkembangnya Tetebatu sebagai destinasi wisata desa—dari sinilah Pariwisata Lombok Timur bermula.
Baiq Rumita wafat pada tahun 1969 dan dimakamkan di halaman Masjid Embung Pap, Selong—di dekat makam keluarganya.
Baiq Rumita adalah Kartini dari Timur. Dia tidak menulis surat kepada Belanda—dia menulis sejarah dengan hidupnya sendiri. Dia membakar sunyi, menantang tradisi, dan mengukir jalan bagi perempuan Sasak untuk berdiri sejajar dengan laki laki.
Baiq Rumita bukan sekedar simbol, Dia adalah pelaku. Dan sejarah mencatatnya sebagai perempuan Sasak yang berani mengguncang dinding-dinding kuno patriarki.
Ditulis oleh Adit R. Alfath
Sumber: Buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Nusa Tenggara Barat, Kemendikbud, 1978.