![]() |
Tenaga Ahli Fraksi Golkar DPR RI/Direktur Eksekutif Indonesia Political Studies, Alfarisi Thalib |
Oleh: Alfarisi Thalib
Tenaga Ahli Fraksi Golkar DPR RI/Direktur Eksekutif Indonesia Political Studies
Jakarta,(Beritantb.com) -Pasca Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Kerja Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri dengan Komisi II DPR RI, pada Kamis (24/4) lalu, membuat wacana pembentukan daerah otonomi baru (DOB) khususnya rencana pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa dari provinsi induk Nusa Tenggara Barat (NTB) kembali hangat. Media sosial terutama dari kelompok masyarakat Pulau Sumbawa dijejaki banyak postingan berbagai pemberitaan, flayer, dan lainnya yang seolah memberi legitimasi bahwa provinsi yang telah lama diajukan untuk pemekaran itu akan segera diwujud.
Pembicaraan ini semakin ramai tatkala muncul beberapa versi rencana lambing atau logo, menetapkan ibu kota provinsi berada di Kota Bima, dan beberapa isu lainnya. Entah siapa yang sengaja memunculkan beberapa hal yang membingungkan ini, tapi saya menduga bahwa ini sengaja diedarkan untuk memicu kegaduhan, mengukur reaksi masyarakat, atau mungkin saja sebagai upaya instan untuk memperoleh kekuasaan melalui jalur alternatif. Namun apapun itu, diharapkan masyarakat Pulau Sumbawa tetap bijak sehingga tidak menimbulkan konflik apa lagi kekerasa.
Sebenarnya, apa dasar konstitusional dan politik sehingga wacana ini mendadak ramai? Apakah hasil RDP Ditjen Otonomi Daerah Kemendagri dengan Komisi II DPRI RI lalu memutuskan untuk membuka atau mencabut moratorium, atau memutuskan bahwa Provinsi Pulau Sumbawa ditetap sebagai daerah otonomi baru?
Sebagai Tenaga Ahli Fraksi yang ditugaskan untuk membantu Anggota Poksi Komisi II DPR RI, telah mengikuti secara seksama proses persidangan sejak awal hingga akhir, persidangan tersebut pun dilakukan secara terbuka dan dapat disaksikan secara live melalui kanal youtube Komisi II DPRI RI, selama proses sidang tersebut sepanjang ingatan dan catatan yang saya buat tidak ada Keputusan atau kesepakatan seperti yang dipertanyakan di atas, bahkan dalam Kesimpulan Rapat yang ditanda-tangani oleh Dirjen Otonomi Daerah Prof. Dr. Akmal Malik dan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin tidak ada keputusan soal itu.
Agar lebih jelas, isi Kesimpulan Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI dengan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, setelah mendengar paparan Dirjen terkait perkembangan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penataan Daerah dan RPP Desain Besar Penataan Daerah sebagaimana amanat UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Komisi II meminta agar Pemerintah Pusat melalui Kemendagri, melakukan:
a. Penyelesaian dengan secepatnya draft Naskah Urgensi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penataan Daerah dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Desain Besar Penataan Daerah serta penerbitan Peraturan Pemerintah tersebut untuk menjawab kebutuhan jumlah Daerah Otonom dalam rangka percepatan pembangunan nasional melalui pembangunan daerah setelah melalui evaluasi dan kajian mendalam.
b. Penataan daerah termasuk di dalamnya pembukaan moratorium pemekaran daerah dengan persyaratan, kriteria dan indikator yang lebih ketat, jelas dan objektif sebagaimana Peraturan Perundang-Undangan.
Terlihat jelas dari dua poin penting Kesimpulan hasil rapa tantara Dirjen Otonomi Daerah dengan Komisi II DPR RI, tidak ada keterangan yang menegaskan bahwa moratorium telah dicabut, DOB telah disahkan, atau pemekaran Provinsi Pulau Sumba telah ditetapkan. DPR hanya menegaskan kembali permintaan yang sama disampaikan pada RDP sebelumnya pada 30 Oktober 2024 agar Kemendagri segera menetap dua RPP agar pemerintah dan DPR menyetahui peta penataan pemerintahan daerah, sehingga atas aspirasi masyarakat yang mengusulkan pemekeran dimaksud dapat segera ditinjau.
Melalui dua RPP tersebut, yang sesungguhnya draf penyusunannya telah dibuat sejak 2016 lalu, namun atas kebijakan pemerintah sehingga draf tersebut pun tak kunjung ditetapkan sebagai pedoman dan petujuk teknis dalam pelaksanaan pemekaran atau penggabungan daerah. Akibatnya, sampai dengan bulan April 2025, jumlah usulan yang tercatat di Direktorat Jenderal Otonomi Daerah sebanyak 341 usulan, dengan perincian 42 usulan pembentukan Provinsi, 252 usulan pembentukan Kabupaten, 36 usulan pembentukan Kota, 6 usulan Daerah Istimewa, dan 5 usulan Daerah Otonomi Khusus.
Sehingga sebagai kesimpulan rapat Dirjen Otonomi Daerah menyampaikan bahwa akan segera finalisasi RPP tentang Penataan Daerah dan RPP tentang Desain Besar Penataan Daerah menyesuaikan keputusan dan kebijakan politik pemerintah dalam kebijakan moratorium pemekaran daerah.
Pemaparan Dirjen Otonomi Daerah tidak satupun pernyataannya yang menegaskan bahwa pemerintah akan moratorium telah dicabut, DOB telah disahkan, atau pemekaran Provinsi Pulau Sumba telah ditetapkan. Sebaliknya, Dirjen justru menunjukkan fakta statistik bagaimana rendahnya kinerja pembangunan, fiskal dan kualitas manusia pada daerah-daerah hasil pemekaran pasca reformasi. Dari 12 Provinsi hasil pemekeran, 8 provinsi di antaranya berkinerja rendah, misalnya Provinsi Papua sebagai provinsi induk dengan Provinsi Papua Barat sebagai Provinsi Pemekaran, Provinsi Sumatera Selatan sebagai Provinsi induk dengan Provinsi Bangka Belitung sebagai provinsi pemekaran pada tahun 2021.
Demikian juga pada tingkat kabupaten, dari 181 DOB kabupaten hasil pemekaran terdapat 70% berkinerja sangat rendah dan rendah misalnya Kab. Jayawijaya (induk) dengan Kab. Yalimo (DOB) yang berkinerja sangat rendah, 56% berkinerja rendah misalnya Kab. Nias (induk) dengan Kab. Nias Utara (DOB) yang berkinerja rendah, dan hanya 30% berkinerja sedang misalnya Kab. Kutai (induk) dengan Kab. Kutai Timur (DOB) yang berkinerja sedang. Pada tingkat kota, dari 34 DOB kota hasil pemekaran terdapat 32% DOB kota berkinerja sangat rendah dan rendah, misalnya Kab. Aceh Singkil (induk) yang berkinerja rendah dengan Kota Subulussalam (DOB) yang berkinerja sangat rendah, dan Kab. Minahasa (induk) yang berkinerja sangat rendah dengan Kota Tomohon (DOB) yang berkinerja rendah. Sedangkan sisanya 68% DOB kota berkinerja sedang misalnya Kab. Ciamis (induk) dengan Kota Banjar (DOB) yang berkinerja sedang.
Berdasarkan kondisi di atas dapat dikemukakan bahwa usulan untuk melakukan penyusunan kembali dua RPP dimaksud sebagai amanat UU Nomor 23 Tahun 2024 tentang Pemerintah Daerah, merupakan pintu masuk dalam meninjau kembali kebijakan moratorium pembentukan daerah otonomi baru. Adapun tujuan dari penyusunan RPP ini adalah mengevaluasi pembentukan daerah otonom pada era reformasi (1999-2014), identifikasi faktor-faktor strategis yang mendorong perlunya revisi Desartada, merumuskan arah revisi Desartada seperti kesulitan menetapkan jumlah daerah otonom secara pasti, dan arah perubahan penataan daerah. Serta untuk mengkaji faktor faktor yang mendorong perlunya dilakukan revisi terhadap kebijakan penataan daerah dan Desartada serta arah revisinya. Sehingga diharapkan dalam perumusannya harus secara bersama melalui kajian yang komperehensif terkait penataan daerah dan desain besar penataan daerah sampai desa/kelurahan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ribut-ribut soal pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa ini hanya bagian dari ekspresi politik yang menghendaki ada percepatan pembangunan daerah khususnya wilayah Pulau Sumbawa yang memang mengalami disparitas tinggi jika dibandingkan dengan wilayah Pulau Lombok. Ekspresi politik ini juga dapat dimaknai sebagai sebatas aspirasi masyarakat agar pemerintah baik pemerintah provinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat maupun pemerintah pusat dalam hal ini Kemendagri sebagai kementerian yang menangani urusan ini dan DPR RI.
Namun yang salah adalah jika aspirasi dan ekspresi politik seperti ini ditingkatkan eskalasinya menjadi huru-hara politik yang sengaja dimainkan untuk menciptakan instabilitas sosial dan bahkan bisa menimbulkan konflik geografis dan budaya di tengah masyarakat, hanya untuk memenuhi hasrat kekuasaan kelompok tertentu.