Penetapan Tersangka Terhadap Enam Massa Aksi di Bima, Polres Terlalu Cepat dan Abaikan Prinsip Restoratif Jastice (RJ)

Penetapan Tersangka Terhadap Enam Massa Aksi di Bima Polres Terlalu Cepat dan Abaikan Prinsip Restoratif Jastice (RJ)
Mahasiswa Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Mataram, Rizalul Mustakim 




Oleh: Rizalul Mustakim

Mahasiswa Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik (FHISIP) Universitas Mataram


Mataram,(Beritantb.com) - Aksi demonstrasi pada Rabu, tanggal 28 Mei 2025, di depan Bandara Sultan Muhammad Salahuddin, Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima, terjadi unjuk rasa yang mengakibatkan rusaknya satu unit mobil dinas merek Isuzu Panther warna hitam milik PEMKAB Bima oleh massa aksi. Demonstrasi tersebut terkait dengan Pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa (PPS).


Unjuk rasa yang dilakukan oleh massa aksi tersebut mengakibatkan rusaknya satu unit mobil dinas Pemkab Bima. Kejadian ini lahir dari bentuk kekecewaan masa aksi terhadap Pemkab Bima yang tidak merespon tuntutan mereka.



Setelah itu, masa aksi tersebut dilaporkan ke Polresta Kabupaten Bima oleh Pemkab Bima atas tuduhan pengrusakan mobil dinas milik Pemkab Bima. Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Kapolres Kabupaten Bima.



Tidak lama setelah laporan dimasukkan, Polresta Kabupaten Bima langsung menahan enam orang massa aksi. Dalam konferensi pers, Polresta Kabupaten Bima lamgsung menetapkan keenam massa aksi tersebut sebagai tersangka.



Saya menilai proses hukum yang dilakukan Kapolres Kabupaten Bima sangat cepat dalam menetapkan enam massa aksi itu sebagai tersangka. Seharusnya, dalam kasus seperti ini Polresta Kabupaten Bima harus mengedepankan asas Restorative Justice (RJ). 



Aparat penegak hukum harus menilai dan melihat bahwa kejadian tersebut merupakan bagian dari dinamika anomali serta mempertimbangkan seberapa besar kerugian yang dialami oleh Pemkab Bima.


Pemerintah kabupaten Bima sebagai pelapor sekaligus wakil rakyat harus melihat perjuangan yang dilakukan oleh massa aksi. Perjuangan tersebut semata-mata demi kepentingan dan kebaikan Kabupaten Bima. 


Pemerintah kabupaten Bima jangan hanya melihat dari kacamata sempit, yaitu hanya melihat dampak buruk yang dilakukan oleh massa aksi.


Saya sependapat bahwa pengrusakan, dan kejahatan lain harus diproses hukum, siapa pun pelakunya. Namun, rasanya tidak adil jika satu sisi proses hukum terhadap enam massa aksi itu berlangsung sangat cepat.



Yang perlu di garis bawahi adalah bahwa saya tidak menormalisasi apa yang dilakukan oleh massa aksi tersebut. Namun, harusnya aparat kepolisian Polresta Kabupaten Bima mengedepankan Restorative Justice (RJ) dengan mempertimbangkan agar pelapor dan terlapor bersepakat berdamai, mencabut laporan, lalu dibebaskan, sebagaimana diatur dalam Peraturan KAPOLRI Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.



Saya menilai tindakan Pemkab Bima yang melaporkan enam massa aksi itu memang disengaja. Saya melihat hal tersebut sebagai salah satu cara Pemkab Bima membungkam dan menakut-nakuti perjuangan aktivisme.



Seandainya proses hukum aparat kepolisian Polresta Kabupaten Bima berlangsung cepat seperti proses hukum terhadap enam massa aksi tersebut, mungkin kasus-kasus lain tidak akan mandek. Namun, di sisi lain, penanganannya berbeda, seperti kasus korupsi, narkotika yang sampai hari ini semakin merajalela, pencurian baik biasa maupun dengan kekerasan (curas), perselisihan, penipuan, dan penyelesaian lahan yang berakhir konflik.



Kasus pengrusakan dinas mobil oleh aksi massa dalam pemakaran Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) ini mencerminkan dinamika sosial-politik yang kompleks di Kabupaten Bima. Proses hukum yang berjalan sangat cepat terhadap enam tersangka masa aksi menimbulkan pertanyaan tentang prinsip keadilan dan keseimbangan dalam penegakan hukum, terutama terkait penerapan asas Restorative Justice (RJ) yang seharusnya mengedepankan perdamaian dan musyawarah antara pelapor dan terlapor. Pemerintah kabupaten Bima sebagai pelapor juga perlu melihat perjuangan massa aksi secara lebih objektif, bukan hanya dari sisi kerugian materiil semata.



Penanganan kasus ini menjadi penting bagi aparat penegak hukum untuk lebih bijak dan proporsional dalam menanggapi konflik sosial yang muncul akibat aspirasi masyarakat. Kecepatan penanganan kasus ini katanya diikuti dengan keseriusan dalam menangani kasus-kasus lain yang lebih kompleks dan berdampak luas, seperti korupsi dan narkotika.



Dengan demikian, penegakan hukum tidak hanya menjadi alat represif, tetapi juga instrumen yang mampu menyeimbangkan kepentingan hukum, keadilan, dan kemaslahatan masyarakat secara menyeluruh.


Iklan