Lombok,(Beritantb.com) – Gerakan pelestarian pangan lokal melalui konsep slow food digaungkan dalam kegiatan Talk & Workshop Slow Food yang berlangsung di kebun Permakultur, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Sabtu, (07/06/2025).
Kegiatan Kolaborasi yang melibatkan Geopark Rinjani Lombok, Ashtari, Permaculture Lombok, Ikatan Ahli Geologi Indonesia Pengurus Daerah Nusa Tenggara Barat dan Slow Food Community Bibit Pusaka Bali.
Dalam kegiatan ini melibatkan peserta yang berasal dari berbagai pihak seperti, Pelajar, Mahasiswa dan Masyarakat yang berasal dari SMK Entrepreneur Al Wasath Lombok Barat, Institut Teknologi Lombok, dan Komisi Irigasi Provinsi NTB.
Pada kesempatan tersebut, Pemilik Permaculture Lombok, Indriyatno mendampingi para peserta untuk memahami kembali pentingnya ketahanan pangan lokal, keberlanjutan lingkungan melalui praktik langsung di kebun Permaculture, diskusi sambil menikmati olahan pangan lokal dan bagi-bagi bibit dari Bibit Pusaka Bali.
Slow Food Community Bali, Sayu Komang menyampaikan bahwa gerakan pelestarian pangan lokal melalui konsep slow food ini bertujuan untuk mendorong ketahanan pangan lokal melalui rumah tangga.
“Gerakan ini ingin mengajak lebih banyak orang untuk berbagi apa yang sudah-sudah dilakukan untuk mendorong ketahanan pangan lokal dari rumah ” ujar Sayu Komang.
Menurutnya, Slow food community Bali juga fokus pada pelestarian pangan melalui pelestarian benih dan budaya pangan lokal.
“Slow food bukan sekadar cara makan, tetapi cara hidup yang mendukung pangan lokal yang baik, bersih dari bahan kimia, serta adil bagi produsen dan konsumen,” ungkapnya.
Sayu Komang menjelaskan bahwa konsep slow food sendiri lahir di Italia sebagai gerakan melawan dominasi makanan cepat saji. Sedangkan di Indonesia, gerakan ini berkembang dengan menekankan prinsip baik, bersih, dan adil.
"Peserta workshop tidak hanya dikenalkan dengan bahan pangan lokal yang ada di Lombok, tetapi juga memahami asal-usul bahan tersebut, seperti umbi-umbian yang biasa digunakan masyarakat saat bencana, keterkaitan tanaman dengan kondisi geologi dan sharing pengalaman slow food community yang sudah berkembang di Bali", katanya.
Sistem pertanian berkelanjutan berbasis agroekologi dan permakultur.
Dari sisi geologi, Ikatan Ahli Geologi Pengurus Daerah NTB, Meliawati Ang menjelaskan bahwa Lombok memiliki nilai geologis luar biasa, termasuk akibat letusan Gunung Samalas pada abad ke-13 yang mengubah topografi pulau dan menciptakan sistem hutan yang kaya flora-fauna endemik sebagai bagian dari Geopark Rinjani Lombok.
"Akibat letusan ini menjadikan daerah di sekitarnya menjadi subur dan memiliki kekayaan pangan lokal", katanya.
Sementara itu, Praktisi Kuliner, Made Masak menekankan pentingnya mengangkat bahan pangan lokal yang memiliki banyak ragam dengan pendekatan kreatif.
Ia telah membangun Dapur Komunitas di Bali yang fokus pada pangan berbasis rumah tangga dan memperkenalkan menu khas dengan cita rasa internasional, namun tetap berbahan dasar lokal.
Selain itu, juga bisa mendukung slow travel dengan mengajak wisatawan untuk ikut aktivitas masyarakat dan menghargai budaya termasuk cita rasa makanan lokal.
“Setiap rumah bisa jadi pusat produksi makanan, bagaimana membuat ide kreatif dari apa yang ada disekitar kita sehingga menjadikan menu tradisional dengan konsep rumahan” kata Made.
Dengan melibatkan berbagai kalangan, kegiatan ini diharapkan mampu memperkuat kesadaran masyarakat terhadap pentingnya kemandirian pangan dan kelestarian budaya termasuk makanan lokal sebagai bagian dari solusi krisis iklim dan ketahanan pangan masa depan.(Red)