![]() |
Nurul Safira Atika Mahasiswa Universitas Airlangga Yang Sedang Melakukan Magang Di Museum Negeri Nusa Tenggara Barat |
Oleh : Nurul Safira Atika
Mahasiswa Universitas Airlangga Yang Sedang Melakukan Magang Di Museum Negeri Nusa Tenggara Barat
Mataram,(Beritantb.com) - Kekayaan alam dan tradisi Indonesia tersebar di berbagai wilayah, kekayaan tersebut berupa budaya fisik maupun non fisik yang diturunkan secara turun temurun kepada generasi-generasi selanjutnya. Beberapa contoh budaya fisik seperti alat-alat rumah tangga, pakaian, kain-kain alat masih dan sebagainya. Sedangkan budaya non fisik berupa cerita-cerita tradisional, musik tradisional, permainan tradisional dan lain-lain sebagainya. keberadaan budaya fisik khususnya kain-kain tradisional di Indonesia memiliki berbagai macam makna dan filosofi, serta nilai yang ada dilihat dari penggunaan motif pada kain (Rosada & Purwati, 2018).
Suku Sumbawa merupakan salah satu suku yang mendiami pulau Sumbawa. Pulau Sumbawa memiliki luas wilayah sebesar 14.386 Km2. Suku Sumbawa sendiri terdiri atas dua kabupaten yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Nusa Tenggara Barat, jumlah penduduk kedua kabupaten ini mencapai 701.806 jiwa, dengan jumlah penduduk Kabupaten Sumbawa berjumlah 543.676 jiwa dan Kabupaten Sumbawa Barat berjumlah 158.130 jiwa (N.N, 2025). Jumlah penduduk suku Sumbawa mengalami peningkatan yang cukup signifikan dilihat dari awal abad 19 yang lalu, yang berjumlah 50.000 jiwa dengan 10.000 di antaranya merupakan pendatang dari berbagai suku dan etnis yang ada di Indonesia (Haris, 2015).
Berdasarkan tulisan Barbosa pada abad 14, suku Sumbawa atau yang saat itu dikenal dengan Cinboaba menyembah berhala dan memiliki keahlian dalam menunggang kuda serta berternak sapi. Hingga pada akhirnya menerima pengaruh Islam pada tahun 1648-1958. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya kesultanan yang dipimpin oleh seorang sultan yaitu Dewa Mas Cini sebagai sultan pertama dan Daeng Manurung Muhammad Kaharuddin III sebagai sultan terakhir (Sukmawanto & Subari, 2023). Pada salah satu badad Lombok sekitar tahun 1506 hingga 1545 menjelaskan mengenai awal masuknya Islam ke pulau Lombok dibawa oleh sunan Prapen yang berasal dari Gresik dan mengislamkan penduduk pulau Lombok dalam ekspedisi militer. Sedangkan masuknya Islam di Sumbawa dibawa oleh seorang mubalig Arab yang berasal dari Gresik dengan cara berniaga, beliau adalah Syekh Zainul Abidin (salah satu murid Sunan Giri). Masuknya Islam di pulau Sumbawa juga dibawa oleh bangsa Bugis-Makassar melalui ekspedisi militer dan pernikahan (Haris, 2015).
Suku Sumbawa memiliki berbagai macam kesenian dan tradisi yang menarik untuk dikenal, salah satu kesenian dan tradisi yang masih diturunkan ialah Kre alang. Kre alang merupakan kerajinan tangan yang dikhususkan bagi wanita yang diwariskan dari generasi ke generasi, Kre alang memiliki makna yang mendalam terkait dengan kehidupan masyarakat dilihat dari motif dan pola yang digunakan (Rosada & Purwati, 2018). Proses pembuatan kain dilakukan secara manual dengan merajut benang satu per satu hingga menjadi sehelai kain, proses ini memakan waktu cukup lama (kurang lebih satu bulan) (Ekastini et al., 2025). Kre alang menggunakan alat dan bahan tertentu seperti benang katun yang disongket menggunakan benang emas dan perak yang membuatnya tampak indah dan mewah (Sofya et al., 2023)
Pembagian wilayah yang terstruktur, penduduk asli dan pendatang. Penduduk asli mendiami bagian pegunungan atau dataran tinggi Sumbawa dan pendatang mendiami bagian pesisir utara dan barat pulau Sumbawa. Struktur masyarakat pada masa lalu terdiri atas bangsawan, rakyat dan budak. Dalam pembagian lain, terdapat dua kelas yaitu bangsawan yaitu berdarah murni (ruwe datu) dan berdarah campuran (ruwe Ai’ kuning). Penyebutan untuk bangsawan mencerminkan pengaruh Pra Islam yaitu Datu atau Dewa oleh masyarakat setempat (Haris, 2015).
Kre alang memiliki makna yang berbeda dilihat dari penggunaan bahasa dan pemaknaannya. Kata alang, secara etimologis memiliki makna lumbung atau loteng sebagai tempat pembuatannya (Sueni, Saptiawan, Astiti, Qurnain, Putradi, et al., 2019). Dalam arsitektur rumah tradisional, alang di peruntukan sebagai tempat penyimpanan pagi yang melambangkan kehidupan atau kesejahteraan pemiliknya. Alang juga berfungsi sebagai tempat persembunyian anak gadis sebelum mendapatkan jodoh untuk kegiatan keputren (menenun dan menjahit) (Gambiro & Yamin, 2018). Sedangkan dalam bahasa Melayu Kuno, alang berarti kemilau atau gemerlap, dengan motif dan ornamen yang saling memiliki keterkaitan dengan pola masyarakat dan lingkungan sosial hanya digunakan oleh kalangan tertentu, khususnya dalam kesultanan dan tokoh penting. Dengan demikian, Kre alang berisi harapan-harapan seperti agar terhindar dari musibah, diberi ketenangan dan kemenangan serta harapan-harapan lainnya (Amar et al., 2022).
Kain khas Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis yaitu kain Lipa Sabbe yang merupakan kain tenun yang dijadikan sebagai sarung diacara adat dan sehari-hari. Motif yang dominan digunakan pada Lipa sabbe adalah bentuk geometris berbentuk kotak-kotak. Kemudian mengalami perkembangan dengan menerapkan ragam hias geometris yang beragam seperti segitiga, segi enam, dan belah ketupat serta ragam hias flora berbentuk kelopak bunga (mengalami stilasi atau penggayaan), tunas serta motif kristal (Wahyuni & Nahari, 2013). Penggunaan motif seperti ini menunjukkan adanya kesamaan dengan motif lasuji , selain itu terdapat kesamaan pada motif tunas bambu sebagai ragam hias. Keduanya sama-sama mengaitkannya dengan daur hidup manusia (Amir, 2018).
Dalam hal ini, kosmologi diartikan sebagai pemahaman mengenai alam semesta secara objektif diartikan sebagai dunia yang secara jelas, nyata dan dapat ditangkap oleh pancaindra. Kondisi benda-benda langit diligat sebagai petunjuk dari perubahan-perubahan yang ada dan diasosiasikan dengan simbol-simbol kehidupan seperti dewa-dewa dan ramalan-ramalan secara empiris dengan keyakinan meta-empiris kosmologi. Kondisi ini melahirkan sistem ideologi terkait dengan struktur sosial hingga kondisi budaya melalui simbol yang ditampilkan oleh alam (Titisari et al., 2017).
Fungsi dan penggunaan Kre alang oleh masyarakat masa lalu sebagai baju adat serta digunakan pada acara-acara besar. Pada masa lalu, Kre alang digunakan sebagai ikon atau tanda untuk menguji ketangkasan pria oleh wanita, Kre alang juga digunakan sebagai simbol kecantikan, keterampilan serta kehalusan budi bahasa wanita melalui suara yang dihasilkan oleh tane saat proses pembuatan tenun (Sueni, Saptiawan, Astiti, Qurnain, Putriadi, et al., 2019) Dan pada masa kini, fungsi dan penggunaan Kre alang mengalami perkembangan pada fungsi dan penggunaannya. Kini Kre alang telah digunakan sebagai salah satu oleh-oleh khas Sumbawa (Hudaningsih & Ruskartina, 2019). Kre alang juga digunakan dalam acara-acara besar dalam konteks daur hidup manusia seperti biso tian, gunting bulu, khitanan, tama lamung hingga acara pernikahan (barodak) (Sueni, Saptiawan, Astiti, Qurnain, Putriadi, et al., 2019). Hal ini sebagai salah satu upaya mempertahankan identitas lokal agar mampu bersaing dengan produk luar, serta untuk mempertahankan eksistensi budaya dan tradisi yang telah termarginal oleh perkembangan zaman.
Kre alang yang dijadikan sebagai objek merupakan koleksi Museum Negeri Nusa Tenggara Barat dengan kode koleksi 5352 dan 5712. Keduanya memiliki kesamaan pada motif yang ditampilkan. Beberapa motif yang dominan digunakan pada kain seperti motif flora (kemang setange, lonto engal, dan pusuk rebong), fauna (mayung atau rusa, piyo atau burung, kuku macan dan naga), perahu dan manusia. Penggunaan motif pada Kre alang bernuansa naturalis dengan mengedepankan harmonisasi antara kekayaan alam dan manusia (Sahoda, 2021). Hal ini menggambarkan kondisi kepercayaan yang cenderung menghargai dan menghormati pemberian Allah SWT. serta menerapkan pedoman atau pegangan dalam konteks budaya dan kosmologi.
Ragam Hias Pada Koleksi 5352 Dan 5712
Koleksi 5352
Koleksi 5352 atau kain Alu’ merupakan salah satu koleksi kain songket yang dimiliki oleh Museum Negeri Nusa Tenggara Barat. Kain ini memiliki warna dasar merah dan hitam serta menggunakan benang katun dan benang berwarna emas. Koleksi 5352 termasuk dalam jenis kain dengan motif sasir yaitu jenis kain dengan motif menyeluruh atau tanpa jarak. Terdapat cukup banyak ragam hias yang ditampilkan pada kain 5352 seperti motif pusuk rebong yang mengalami penggayaan dengan penambahan ornamen lonto engal pada bagian atas dan samping kain serta pada bagian dalam dihiasi oleh kemang setange. Pada bagian tengah kain, terdapat motif burung atau yang dikenal sebagai piyo manis. Pada bagian pinggir kain terdapat hiasan menyerupai lonto engal pada bagian sisi kepala kain. Pada bagian sisi terdapat hiasan kemang setange dan dipadukan dengan geometris yang berbentuk belah ketupat, bentuk ini dikenal juga dengan sebutan lasuji atau mata kolo. Kemang setange yang menghiasi kain merupakan bentuk stilasi dari kemang pona dan kemang menur.
Koleksi 5712
Pada koleksi 5712 atau pusuk rebong, koleksi 5712 menggunakan warna merah dan hitam (membentuk kotak-kotak memanjang) sebagai warna dasar kain. Jenis benang yang digunakan adalah benang katun dan benang berwarna emas. Koleksi 5712 termasuk dalam jenis motif cepa yaitu jenis kain yang diletakkan berjauhan atau berjarak antar motif satu dengan lainnya. Ragam hias yang digunakan untuk menghiasi kain yaitu motif pusuk rebong dengan hiasan kemang setange pada bagian dalam kain. Bagian tengah kain dihiasi oleh motif anak merak yang dikenal dengan sebutan bartong. Motif flora yang digunakan didominasi oleh kemang menur dan kemang kedele. Kemudian motif lonto engal menghiasi bagian sisi kain yang memisahkan antara motif pusuk rebong satu dengan lainnya. motif lainnya yang tampak adalah motif geometris membentuk belah ketupat yang dikenal dengan sebutan lasuji atau mata kolo. Makna Ragam Hias Yang Ada
• Motif pusuk rebong
Motif ini digambarkan dengan bentuk dasar segitiga dengan ornamen pinggir membentuk pola berulang. Dalam kepercayaan masyarakat lokal, pusuk rebong disimbolkan sebagai kesuburan sehingga pusuk rebong digunakan untuk menggambarkan daur hidup manusia dari generasi ke generasi (Tauufiqurrahman, 2019). Pusuk rebong juga digunakan untuk menggambarkan karakter masyarakat Sumbawa yang kokoh dan kuat di mana pun berada, serta menekankan jiwa yang sabar dan tabah ((Rosada & Purwati, 2018). Motif pusuk rebong merupakan motif yang paling sering digunakan dan memiliki makna yang mendalam terkait dengan harapan leluhur agar penerusnya mampu memberikan dampak baik bagi negeri dengan jiwa yang kokoh dan kuat dalam menghadapi masalah dan hidup serta mampu menghadapinya dengan hati yang lapang.
• Motif lonto engal
Motif lonto engal diambil dari tumbuhan sulur yang merupakan batang umbi-umbian dengan daun kecil dan isi yang besar. Motif yang digambarkan meliuk-liuk dan saling terhubung juga memiliki keterkaitan dengan alur daur hidup manusia, khususnya dalam konteks keberlangsungan keturunan. Lonto engal digunakan untuk menyimbolkan kerja keras, menghindari sanjungan berlebih dan formalitas yang tinggi (Tauufiqurrahman, 2019). Lonto engal juga digunakan sebagai simbol dari sifat rendah hati dan tidak sombong sehingga dapat menjadi manusia yang pandai bergaul serta memiliki wawasan yang luas (Rosada & Purwati, 2018). Melalui motif ini, terselip harapan pada para penerus agar tidak merasa tinggi hati meski memiliki kemampuan yang mumpuni sehingga mudah diterima dalam pergaulan, motif yang bersambung dan meliuk-liuk juga menggambarkan kebersamaan dalam masyarakat dengan adanya gotong royong.
• Motif kemang setange
Kemang setange merupakan kumpulan dari berbagai jenis bunga yang ada, terdapat beberapa jenis bunga yang dominan dalam penggunaannya seperti kemang pona (bunga labu), kemang menur (bunga menur) dan kemang kedele (bunga kedelai). Penggunaan kemang setange sebagai motif melambangkan kemandirian, hal ini dilihat dari keberadaan motif tunggal dengan hiasan daun (Tauufiqurrahman, 2019). Kemang setange juga melambangkan kasih sayang, keindahan dan kesucian. Lebih dalam, kemang setange mencerminkan hubungan antara manusia dan manusia (Rosada & Purwati, 2018). Keterhubungan dengan keadaan masyarakat saat ini ialah kasih sayang dan keindahan berguna sebagai pembentuk kehidupan bermasyarakat serta kemandirian dibutuhkan agar kehidupan tidak bergantung pada orang lain dengan mengedepankan inisiatif guna mencapai banyak hal.
• Motif piyo manis
Pada koleksi 5352, motif piyo manis atau burung manis biasanya digambarkan menyatu dengan penggayaan motif lonto engal. Piyo atau burung digambarkan memiliki sifat spiritual, kedudukan tinggi dan semangat pantang menyerah sebagai penguasa langit. Piyo juga menjadi simbol roh leluhur yang bermakna pemimpin dan cinta kasih (PJ Kemas & SF, 2019). Piyo sebagai hewan dengan kemampuan terbang juga menggambarkan kebebasan, petualangan dan keinginan untuk mencoba hal-hal baru (Rosada & Purwati, 2018). Kaitannya dengan masa kini, piyo menggambarkan kebutuhan akan pemimpin yang berwibawa dan berempati tinggi pada masyarakat, keberadaan makna spiritualitas mendorong terbentuknya pemimpin yang bijaksana dalam memimpin. Sebagai hewan yang menggambarkan kebebasan dan petualangan, menjadi harapan agar masyarakat bisa mengeksplorasi berbagai aspek untuk terciptanya inovasi-inovasi yang terbarukan.
• Motif kerbau
Pada koleksi 5712, motif kerbau atau kebo ditampilkan sebagai salah satu ragam hias. Dalam kehidupan masyarakat, kerbau memiliki peran yang cukup besar bagi masyarakat, khususnya dalam tradisi barapan kebo. Jika dikaitkan dengan tradisi ini, kerbau yang memiliki kekuatan yang besar sebagai salah satu cara terhubung dengan sesama dalam mengintegrasikan nilai kebersamaan (Yuliana & Salamah, 2021). Kerbau juga kerap kali dikaitkan dengan kehidupan setelah kematian, kerbau disimbolkan sebagai bentuk pengabdian dikarenakan sifatnya yang pasrah dan bermanfaat bagi sekitar, dalam beberapa kebudayaan kerbau juga disimbolkan sebagai kendaraan bagi orang yang sudah meninggal (Kirno, 2013). Makna yang bisa diambil adalah agar masyarakat Sumbawa memiliki jiwa yang kuat dan bisa bermanfaat bagi sekitar.
• Motif anak merak
Motif anak merak atau bartong merupakan salah satu hewan yang terkenal memiliki bulu indah. Pada koleksi 5712, merak digambarkan terhubung dengan kerbau. Pada beberapa kebudayaan, merak dianggap sebagai perwujudan roh leluhur dan kendaraan bagi dewa keabadian, sehingga merak bisa diartikan sebagai simbol keabadian dan kekuasaan (Sunliensyah, 2017). Selain itu, merak juga menjadi lambang keindahan dan keanggunan melalui bulu yang dimilikinya (Rahmaputri, 2023). Penggunaan motif merak diartikan sebagai harapan agar tetap menjaga dan melestarikan kekayaan alam dan budaya serta sebagai harapan untuk terus menjaga keindahan alam sebagai daya tarik dalam konteks pariwisata.
• Motif lasuji atau mata kolo
Motif dengan bentuk belah ketupat berfungsi dalam menggambarkan empat unsur pembentuk manusia yaitu air, api, udara dan angin. Motif lasuji ini bermakna kemakmuran dan kehidupan (Tauufiqurrahman, 2019). Sebagai motif yang berbentuk ketupat, terselip makna untuk saling memaafkan, motif lasuji bermakna untuk menahan hawa nafsu dan menjadi simbol kesempurnaan yang diterima oleh masyarakat setelah menjalani ibadah puasa. Lasuji juga dikenal dengan mata kolo, yaitu mata burung yang indah dan menawan. Lasuji menjadi bentuk syukur pada Tuhan atas keberkahan yang diberikan. Motif ini juga menjadi simbol dari kedudukan sosial seseorang khususnya lelaki sebagai individu yang harus dihormati dan memiliki peran sebagai pemimpin yang kuat, berani dan tidak mudah menyerah (PJ Kemas & SF, 2019). Motif lasuji dalam kehidupan saat ini menjadi implementasi terkait dengan harmonisasi sosial masyarakat dengan keberagaman yang ada, serta mencakup spiritualitas masyarakat sebagai penganut agama Islam dalam memandang benda sebagai salah satu bentuk yang memiliki makna. Penggunaan motif ini juga menunjukkan harapan akan peran laki-laki sebagai pemimpin untuk membangun dan mengembangkan potensi daerah.
Sebagai salah satu kekayaan budaya dan tradisi secara turun temurun, Kre alang menyimpan banyak sekali makna melalui penggunaan tanda atau simbol. Seperti pada koleksi 5352 dan 5712 menggunakan beberapa ragam hias yang serupa. Hubungan antara kosmologi masyarakat Sumbawa dan penggunaan ragam hias pada kain memperlihatkan kaitan yang erat khususnya pada pemaknaan motif. Motif-motif yang digunakan memiliki makna yang mendalam mengenai kehidupan manusia dan alam serta terkait dengan ketergantungan manusia pada Tuhan Yang Maha Esa. Seperti motif flora yaitu pusuk rebong, kemang setange dan lonto engal yang menekankan terkait daur hidup manusia. Serta harapan dan nilai yang membentuk karakter masyarakat yang berjiwa teguh, penuh kasih sayang serta saling tolong menolong dalam kehidupan. Penggunaan motif fauna seperti kerbau atau kebo, bartong atau anak merak serta piyo atau burung menekankan mengenai spiritualitas manusia serta filosofi yang mendalam terkait dengan pemimpin yang bijaksana, kebebasan, kekuatan serta semangat pantang menyerah yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Juga terkait dengan penggunaan motif lasuji atau mata kolo yang menggambarkan rasa syukur kepada Allah SWT. dan kesempurnaan diri dalam mengintegrasikan ajaran agama Islam.
Sehingga Kre alang tidak hanya berfungsi sebagai ragam hias tetapi juga sebagai penjaga ingatan masa lalu yang menjadi pedoman etis dan moral masyarakat Sumbawa, hal-hal ini masih relevan jika diterapkan pada masa kini. Kekayaan motif yang ada menjadi cerminan dari doa, harapan serta bentuk dari keterhubungan diri manusia dengan alam serta pemilik alam semesta yang menciptakan kehidupan yaitu Allah SWT.. Kre alang menjadi salah satu bukti dari kemajuan pemikiran para leluhur dalam mengintegrasikan benda, simbol dan budaya yang ada. Kre alang menjadi bukti bahwa kearifan lokal mampu berperan sebagai kekuatan yang perlu dipertahankan di tengah banyaknya budaya dan tradisi yang mulai termarginal.
Referensi:
Amar, S., Suyasa, I. M., & Mahsun. (2022). Strategi Pengembangan Produk Ekonomi Kreatif Kain Tenun Kere’ Alang Sebagai Daya Tarik Wisata Di Desa Poto Kecamatan Moyo Hilir. JRT Journal Of Responsible Tourism, 2(2), 431–442. https://stp-mataram.e-
journal.id/JRTour
Amir, S. (2018). Sulapa Eppa Pada Lipa Sabbe Sengkang. GELAR: Jurnal Seni Budaya, 16(1), 50–58.
Ekastini, Sofya, N. D., Ruskartina, E., Trisyawidia, J., Bintang, & Martadinata, E. (2025).
Permodelan Prototype E-Katalog Sebagai Media Pemasaran Bagi Pelaku Umkm Tenun
Kre’ Alang Sumbawa. TEKNIMEDIA, 6(1), 1.
https://doi.org/https://doi.org/10.46764/teknimedia.v6i1.213
Gambiro, H., & Yamin, A. (2018). Meneropong Istana Tua (Dalam Loka) Warisan Arsitektur Tradisional Sumbawa (Inheritance On Traditional Architecture Of Sumbawa). Vitruvian, 8(1), 1. https://doi.org/10.22441/vitruvian.2018.v8i1.001
Haris, T. (2015). Kasultanan Samawa di Pulau Sumbawa dalam Kurun Waktu Abad XVII-XX. Jurnal Lektur Keagamaan, 13(1), 1–30.
Hudaningsih, N., & Ruskartina, E. (2019). Pemetaan Dan Analisis Kompetensi Inti Pada Value
Chain Kre alang Sebagai Produk Khas Sumbawa. Jurnal Tambora: Science and
Technology, 3(3), 115–121. http://jurnal.uts.ac.id
Kirno. (2013). Ragam Hias Binatang Dalam Medalion. CORAK: Jurnal Seni Kriya, 1, 177– 190.
N.N. (2025, March 6). Penduduk Kabupaten/Kota (Jiwa), 2025. Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Barat. https://ntb.bps.go.id/id/statistics-table/2/MjkjMg==/pendudukkabupaten-kota.html
PJ Kemas, P. K., & SF, A. K. (2019). Analisis Semiotika Motif Kre alang Dan Sapu Alang Sumbawa. KAGANGA: Journal of Communication Science, 1(1), 17–39. https://doi.org/https://d (Red).