Menggali Memori Kolektif Anak 80-an, Museum NTB Kajian Tradisi Gula Gending

Menggali Memori Kolektif Anak 80-an, Museum NTB Kajian Tradisi Gula Gending
Produksi Gula Gending 


Lombok Timur,(Beritantb.com) - Setelah sebelumnya melakukan pengkajian dan pembukuan tentang tradisi berladang masyarakat Sasak-Lombok, kali ini Museum Negeri Nusa Tenggara Barat kembali melakukan kajian mendalam terhadap tradisi gula gending, salah satu warisan kuliner jajanan khas masyarakat Lombok.


Kajian ini dilaksanakan di Desa Kembang Kerang Daya, Lombok Timur, yang menjadi salah satu pusat berkembangnya tradisi jajanan khas tersebut.


Kepala Museum NTB, Dr. Ahmad Nuralam, menuturkan bahwa kegiatan ini merupakan upaya mendokumentasikan tradisi dan budaya lokal sebagai warisan turun-temurun agar tetap diketahui, dilestarikan, dan dilindungi oleh generasi mendatang.


“Gula gending bukan sekadar produk olahan pangan, melainkan ini lahir dari kearifan lokal, dan sudah sepatutnya kita jaga agar tidak hilang ditelan zaman,” jelas Nuralam, pada Selasa, (16/9/25).


Nuralam mengatakan bahwa alasan pihaknya meneliti gulag ending ini karena tradisi ini memperlihatkan bagaimana kebudayaan dan aspek ekonomi menyatu dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. 


Istilah gula gending tidak hanya merujuk pada jajanan manis berbahan dasar gula pasir dan terigu yang biasa dijajakan di desa-desa, melainkan juga berkaitan dengan alat musik tradisional khas Lombok. 


“Nilai estetik dari gulag ending ini adalah terdapat kesenian yang digabung dengan ekonomi dan itu menjadi sesuatu memori kolektif anak-anak di tahun 80-an dan 90-an bahkan sampai sekarang”, tuturnya.


Tradisi Gula Gending diyakini muncul pada era 1970-an dan mencapai masa keemasan pada dekade 1980–1990. Jajanan ini dikenal sebagai “halus manis”, yakni gula pasir yang dilelehkan dan dicetak sederhana. 

Keunikan Gula Gending terletak pada cara penjualannya: pedagang berkeliling sambil memukul alat musik tradisional sederhana, sehingga bunyi ritmisnya mengundang anak-anak untuk membeli.


Salah satu penjual Gula Gending, Muhammad Faisal mengaku bahwa dirinya sejak pertma kali berjualan Gula Gending sejak tahun 1985. Daerah pertama kali yang Ia jejaki adalah Bima, Sumbawa hingga daratan pulau Jawa dan Kalimantan.



Dirinya mengatakan bahwa motivasi untuk menjual Gula Gending, selain dari sumber penghasilan tambahan bagi keluarga, juga menjaga warisan budaya kearifan lokal. Karena keunikan dari gending menurtunya terletak pada seni music tradisional.



“Kita jalan keliling sambil bergending itu dengan musik. Dari musik itulah anak-anak tertarik mendengar kita yang jualan sehingga mereka keluar beli. Kadang-kadang anak-anak itu lari-lari kejar kita. Jadi bunyi gending yang saya pukul itu selalu membawa anak-anak dating”, tuturnya.


Penelusuran awal Museum NTB menemukan bahwa fenomena Gula Gending memiliki implikasi sosial-budaya yang menarik. Di satu sisi, ia menjadi medium hiburan dan interaksi sosial anak-anak, di sisi lain menjadi salah satu bentuk ekonomi kreatif tradisional. 


Kasi Pengkajian dan Perawatan Koleksi, Aulia Rahman Adiputra mengatakan bahwa hasil dari kajian penelitian ini pihakanya akan menyusun dokumentasi etnografis dan publikasi tentang Gula Gending agar bisa masuk dalam katalog warisan budaya. 



Dengan begitu upaya ini diharapkan dapat membuka peluang revitalisasi, misalnya melalui festival budaya, program edukasi kuliner, hingga pengembangan pariwisata.(Red).

Iklan