![]() |
Keindahan Alam Pulau Lombok |
Oleh: Adit R. Alfath
Lombok Friendly Insight
Mataram,(Beritantb.com) - Dulu, Lombok dikenal sebagai pulau yang tenang dan religius. Hidup berjalan lambat di antara sawah, ladang, laut, dan kaki gunung. Masjid berdiri bak mercusuar, menjadi penanda batas antar dasan, dusun, dan desa. Orang Belanda di masa lalu bahkan menjulukinya “Mekah Kecil.”
Berawal dari Senggigi, bergerak menuju Gili, kemudian Mandalika, dan kini tiba di Sekotong — wajah Lombok tidak lagi sama. Dari kampung asri di tepi hutan, pesisir, dan kaki bukit, kini tumbuh kota-kota baru yang jauh dari identitas aslinya; wajah yang mungkin tak lagi dikenali oleh kakek-nenek kita, atau bahkan oleh kita sendiri di masa depan.
South China Morning Post (SCMP) menangkap situasi ini sebagai sebuah dilema: antara menggapai ambisi dan mempertahankan tradisi. Buwun Mas di Sekotong, dengan rencana pengembangan mega resort bernilai miliaran dolar, Marina Bay City, yang dijuluki “The Miami of Indonesia” — dijadikan contoh kasus.
Sebagian warga menyambutnya dengan gembira, berharap hadirnya lapangan kerja, peluang usaha, dan kemakmuran. Namun sebagian lainnya merasa takut, tak lagi mengenali tanah kelahirannya.
Kemarin, saya berkeliling ke beberapa bukit di kawasan Mandalika. Melihat masifnya pembangunan hotel dan vila-vila mewah, muncul rasa bangga yang luar biasa. Saya hampir meneteskan air mata bahagia menyadari betapa cepat Lombok bergerak menuju masa depan yang modern. Turis kini menyebar hingga ke pelosok kampung di kaki bukit; warga lokal pun tampak sumringah, menyapa dengan bahasa Inggris yang mengesankan.
Namun ketika pandangan saya tertuju ke barisan crane yang sedang mengeruk bukit, rasa bangga itu berubah menjadi kecewa. Pertanyaan pun muncul: kenapa bukit-bukit ini harus dikeruk dan dibentuk ulang? Tidakkah pembangunan bisa menyesuaikan diri dengan lanskap alam, bukan sebaliknya?
Saya sempat berpesan kepada seorang teman yang kebetulan ingin membeli sebidang tanah di sana:
“Tolong jagalah pohon-pohon itu. Jangan dihilangkan. Bangunlah sesuai dengan kontur alam yang sudah ada.”
Ada rasa takut yang luar biasa membayangkan wajah Mandalika yang akan sepenuhnya berubah.
Dalam perjalanan pulang, saya mampir di sebuah bukit di kawasan Rembitan. Di sana terdapat sebuah kemalik, tempat suci bagi masyarakat lokal. Suasananya hening, hanya ada desir angin, kicau burung dan suara nyanyian tonggeret atau tengkerek sebutan orang Sasak. Di tempat itu, air mata saya akhirnya tumpah.
Dari puncak kemalik, saya melihat barisan bukit yang terkoyak, puncaknya kini gundul dan berdebu. Sambil memegang batu kemalik yang terasa berdenyut di telapak tangan, saya berdoa:
“Semoga kalian tetap terjaga, dan bukit ini tidak mengalami nasib yang sama.”
Namun di balik doa itu, terbersit pertanyaan yang mengusik: haruskah kami ikut menolak pembangunan demi kelestarian lingkungan? Dan dari manakah asal suara suara penolakan itu?
Ironisnya, sebagian besar suara penolakan datang dari mereka yang tinggal di kota-kota besar: wilayah yang lingkungannya sudah lama rusak, namun warganya kini menikmati kenyamanan hasil pembangunan yang dulu juga menekan alam dan budaya lokal.
Apakah adil jika masyarakat Lombok diminta terus hidup secara tradisional demi menjaga “kelestarian,” sementara mereka yang menyerukan pelestarian justru menikmati hasil modernisasi?
Inilah paradoks moral pariwisata modern, dilema yang tak bisa diselesaikan hanya dengan menolak atau menyetujui pembangunan. Yang dibutuhkan adalah keseimbangan baru: bagaimana kemajuan tumbuh tanpa mencabut akar budaya, dan bagaimana pelestarian berjalan tanpa menghambat hak masyarakat untuk berkembang.
Pandangan Kami:
Isu ini sejatinya adalah cerminan dari tantangan besar yang dihadapi Lombok, bahkan Indonesia secara umum, dalam mengelola pariwisata yang tumbuh cepat di tengah gelombang investasi global.
Pariwisata telah menempatkan Lombok di peta dunia. Dari Gili hingga Mandalika, dari Senggigi hingga Sekotong, geliat pembangunan fasilitas dan infrastruktur menghadirkan wajah baru serta janji kemakmuran. Namun benarkah wajah modern menjadi tolak ukur kemajuan? Dan benarkah kemajuan itu benar-benar berpihak pada masyarakat lokal serta lingkungan?
Pembangunan tidak boleh dimusuhi, karena tidak ada kemajuan tanpa perubahan. Namun arah dan nilai yang mendasari pembangunan harus dikawal bersama, agar Lombok tidak sekadar menjadi panggung megah bagi pemodal besar, sementara masyarakat lokal hanya menjadi penonton di atas tanahnya sendiri.
Lombok bisa menjadi contoh harmoni itu. Pembangunan di kawasan seperti Buwun Mas atau Mandalika perlu diarahkan dengan prinsip community-based tourism, di mana masyarakat lokal bukan sekadar tenaga kerja atau penghibur dengan seni-budaya, melainkan mitra sejajar dan penerima manfaat utama. Investor perlu menyiapkan program pelatihan, pendampingan usaha, hingga trust fund desa yang memastikan keuntungan ekonomi kembali ke masyarakat.
Pemerintah daerah juga memegang peran vital. Daya dukung lingkungan harus menjadi batas sakral, bukan sekadar catatan di dokumen. Setiap proyek harus melalui social impact assessment yang transparan, dan nilai budaya lokal harus hadir sebagai roh dalam setiap pembangunan dan pengembangan wisata.
Jika prinsip-prinsip ini diterapkan dengan jujur dan penuh tanggung jawab, maka sebutan “The Miami of Indonesia” untuk Sekotong, atau “The New Dubai” untuk Mandalika, bukan berarti meniru, melainkan menegaskan jati diri baru Lombok sebagai destinasi modern yang setara dengan mereka namun tetap berakar pada kearifan lokal.
Buwun Mas, Mandalika, dan kawasan lainnya hanyalah bab-bab kecil dari kisah besar tentang arah pembangunan Lombok. Pilihan ada di tangan kita: apakah ingin mengejar kemajuan yang cepat tapi rapuh, atau membangun masa depan yang berakar, berimbang, dan berkeadilan.
Sebab sejatinya, kemajuan bukan ketika desa berubah menjadi kota, melainkan ketika masyarakat maju tanpa kehilangan jati diri dan ruh alamnya.